Tag Archives: borjuis kecil

Problematisasi Kelas, via Jam Kerja, via Begadang dan Malam Mingguan [Bagian I]

Standard

Problematisasi Kelas, via Jam Kerja, via Begadang dan Malam Mingguan

Hizkia Yosie Polimpung

 

Apakah “begadang”? Apakah “malam mingguan”? Apakah keduanya semata-mata suatu aktivitas remeh? Tulisan singkat ini menggelengkan kepala untuk pertanyaan ini. Bahkan, akan ditunjukkan, bahwa melalui problematisasi dua istilah yang relatif gak penting ini, konsep-konsep penting lainnya, yang telah diterima begitu saja, menjadi dipertanyakan. Ujung dari problematisasi ini selanjutnya dapat dilihat sebagai suatu kontribusi untuk memperbarui cara pandang dalam melihat kehidupan dalam situasi dan kondisi kontemporer.

Niatnya, tulisan ini hanya beberapa paragraf saja. Namun, untuk mengantisipasi kemungkinan tulisan ini menjadi semakin panjang, maka sebaiknya sedikit dipaparkan secara garis besar, baik argumentasi dan sistematika pembahasannya. Hitung-hitung, jaga-jaga supaya pembacaan tidak tersesat di padang gurun ngalor-ngidul tulisan ini. Ada tiga argumentasi yang saya janjikan melalui tulisan ini: pertama, bahwa begadang dan malam-mingguan harus dilihat sebagai manifestasi idiologi kapitalisme; kedua, bahwa kedua istilah ini erat kaitannya dengan, terutama, konsep jam kerja dan kerja itu sendiri; ketiga, problematisasi kedua istilah dan kedua konsep ini akan membawa pada suatu pemahaman baru pertama-tama, akan konsep kelas, dan akhirnya akan kondisi kehidupan dalam kapitalisme kontemporer, atau yang disebut sebagai pasca-Fordisme, yang di dalamnya kelas buruh dan kelas budak (slave) tidak bisa lagi dibedakan. Pembagian sistematika pembahasan akan mengikuti ketiga argumentasi ini. Satu disclaimer metodologis: tulisan ini akan membahas yang-pada-umumnya saja karena memang tujuannya adalah mengintervensi wacana di tingkatan generalitas, di tingkat yang-pada-umumnya. Pengecualian-pengecualian spesifik, akhirnya, tetap butuh riset yang lebih spesifik. (Namun demikian, demikian argumentasi utama saya, totalitas idiologis kapitalisme kontemporer yang dibahas pada bagian ketiga, akan membuat pengecualian-pengecualian ini menjadi tidak begitu penting, karena ia ternyata adalah negativitas yang by default disediakan oleh kapitalisme itu sendiri.)

I. “Kalo begadang tuh pas malem-mingguan aja. Sering-sering gak baik, bisa sakit.”

Subjudul di atas adalah pesan singkat yang saya dapat dari seorang kawan saya saat tahu bahwa saya masih terjaga di sekitaran pukul tiga pagi, yang mana pada umumnya orang sedang terlelap, tidur, mengisi ulang tenaga agar keesokan harinya bisa segar dalam bekerja, mendulang pencaharian, … dan begitu seterusnya, berulang-ulang. Sampai tiba hari jumat: TGIF—thanks God it’s Friday, kata orang-orang ini. Artinya, malam minggu telah tiba. Saatnya berhenti bekerja, dan mulai bersenang-senang, hura-hura, rekreasi, menghilangkan kepenatan. Dan lagi, begitu pula seterusnya. Seolah-olah segalanya tampak normal; begitu pula ungkapan pesan singkat di atas.

Terkait pesan singkat yang menjadi subjudul di atas, akan ditunjukkan dimensi idiologis yang terkandung di dalamnya. Hal ini tidak lantas membuat saya meragukan apalagi menafikan ketulusan yang terkandung dalam ungkapan tersebut. Sama sekali tidak! Justru ketulusan yang memotivasi ungkapan ini semakin menambah bobot urjensi analisis kritis idiologis atas ungkapan tersebut. Ugly truth-nya yang akan nampak apabila analisis tersebut berhasil adalah: bahwa idiologi dan kepentingan idiologis bahkan menunggangi ketulusan dan kebaikan-hati orang! Simpati terhadap ketulusan dan kebaikan-hati, dengan demikian, tidak seharusnya lantas membuat naluri analisis kritis menjadi tumpul. Malahan, analisis kritis adalah ungkapan terima kasih sekaligus balasan setimpal (dalam artian positif) bagi ungkapan ketulusan hati tersebut.

Maka, inilah ungkapan terima kasih saya.

‘Begadang’, adalah suatu istilah yang secara khas menunjuk pada kelas sosial tertentu, kondisi masyarakat tertentu yang menjadi latar belakang keberadaan kelas tersebut, dan bahkan idiologi yang menyelimuti masyarakat tersebut. ‘Begadang’ mengasumsikan suatu jam tidur/istirahat (malam) yang fix, yang saat “dilanggar,” dinamailah tragedi “pelanggaran” itu ‘begadang’. Jam tidur yang fix tersebut adalah sekitar jam 10 malam sampai enam (6) pagi. Dimensi ideologis dan kelas sosial segera terlihat dari jam tidur ini, yaitu bahwa istilah ini dimungkinkan untuk muncul pada, dan hanya pada, masyarakat yang terselimuti oleh ideologi kapitalis. Pula istilah begadang ini berlaku untuk kelas yang sering disebut sebagai kelas pekerja, atau ‘borjuis kecil’.

(Sederhananya, kelas borjuis kecil berbeda dengan kelas borjuis “besar” dalam hal kepemilikan/akses terhadap modal. Seperti namanya, borjuis kecil memiliki modal yang hanya sedikit, sementara borjuis besar, banyak; lainnya, yang tidak memiliki akses, disebut kelas proletar. Definisi kelas seperti inilah yang oleh artikel ini akan dipertanyakan dengan keras relevansi dan validitasnya. Oleh karena itu, untuk sementara pendefinisian kecil besarnya borjuis ini sengaja dibiarkan tidak begitu presisi. Pembedaan besar–kecil hanya semata-mata untuk kepentingan pembeda sementara).

Mengapa borjuis kecil? Karena hanya borjuis kecil yang tidur pada jam-jam ini, dan pada hari yang bukan hari malam-minggu (biasanya antara Jumat dan Sabtu malam). Mengapa demikian? Karena keesokan harinya, mereka harus melakukan aktivitas (atau ritual?) sosial yang disebut dengan “kerja.” Jam 8 pagi. Maka, perhitungan bisa seperti berikut. Semenjak narasi medis yang berlaku hari-hari ini mengatakan bahwa jumlah jam tidur malam “yang baik” untuk orang dewasa (18 tahun ke atas) adalah 6 sampai 8 jam sehari. Maka, jam aman untuk mulai beristirahat adalah pukul 10-12 malam. Hitungannya, orang butuh 6-8 jam waktu tidur sehingga paling lambat pada pukul 6 pagi, mereka bisa (konon) bangun dengan kondisi badan segar. Apabila waktu untuk mandi, bersolek dan sarapan butuh sekitar satu jam, dan perjalanan ke tempat kerja butuh juga sekitar satu jam, maka tepatlah paling lambat jam 6 waktu mereka untuk bangun pagi. Ditambah dua jam, maka jam 8 diperkirakan mereka sampai di tempat kerja. Jam sekolah/kuliah, umumnya juga menggunakan perhitungan yang sama. Sehingga akan sulit ditemukan ada jam sekolah/kuliah yang dimulai dari jam 4 pagi, misalkan. (Untuk sementara, pembedaan kerja dan kuliah akan diasumsikan sama. Tapi nanti, akan ditunjukkan bahwa ia tidak bisa dibedakan).

Dari narasi di atas terlihat jelas pengasumsian bagi definisi dua konsep: jam kerja dan kerja itu sendiri. Jam kerja adalah waktu (baik durasi maupun waktu presisi) bagi orang untuk bekerja, yang kemudian diartikan sebagai, aktivitas untuk berproduksi atau, sederhananya, mencari nafkah dan/atau peng-hidup-an (analisis kritis idiologis, bahkan, tentang penggunaan umum atas istilah ‘penghidupan’ akan dibahas lebih detil pada bagian berikutnya). Lalu detilnya, dimana aspek idiologisnya? Kekhasan masyarakat kapitalis adalah bahwa terdapa pola umum atas pembagian jam kerja dan jam non-kerja (rekreasi, senggang, santai, dan … malam-mingguan; singkatnya jam dimana orang “get a life!”–saya mengusut istilah inipada artikel ini). Pola umum ini, karena dilakukan terus-menerus tanpa dipertanyakan, maka ia memperoleh status ‘normal’. Pengorganisasian jam tidur (dan jam hidup) ini akhirnya juga menjadi (ter)normal(kan), sedemikian rupa sehingga orang-orang yg melanggarnya dianggap aneh/sakit. Jelas di sini, pengorganisasian jam tidur dan jam kerja, erat kaitannya dengan pengorganisasian (jam) hidup itu sendiri.

Di sinilah dimensi aneh, tidak normal, tidak lazim, patologis, dst., dari ‘begadang’ terlihat. Begadang menjadi sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Alasannya rasional, setidaknya terlihat rasional dalam logika yang dinarasikan di atas: jika orang begadang, maka jam hidupnya akan terganggu karena jika bukan jam kerjanya terganggu, maka kesehatannya (ingat narasi medik “normal” di atas) akan pula terganggu karena tidak mendapat waktu tidur yang cukup—lagi-lagi cukup dalam logika narasi medik kesehatan di atas. Keprihatinan kawan saya di atas, yaitu supaya saya tidak sakit karena sering begadang, dapat dimengerti di sini. Logis! Namun, kondisi logis ini hanya dimungkinkan apabila diasumsikan jam kerja tertentu, jam tidur pada kala dan durasi tertentu, singkatnya, pada pengorganisasian hidup tertentu … yaitu tentunya pada masa dan masyarakat kapitalis.

Titik tekan di sini adalah pengorganisasi jam tidur-kerja-hidup, dan bukan kapan pastinya hitungan jam tersebut dimulai. Ini penting untuk memahami pola hidup yang nampaknya berbeda, namun sebenarnya tetap sama, hanya saja dalam kondisi yang berkebalikan (invert). Misalnya, mereka-mereka yang bekerja di malam hari: satpam, supir, bartender, bahkan pekerja seks komersial. Mereka tetap saja menganut pengorganisasian hidup kapitalis, bedanya waktunya saja yang digeser: saat orang pada umumnya bangun tidur jam 6, mereka ini justru baru mulai tidur. Jadi, tetap saja, mereka-mereka ini sah disebut borjuis kecil. Sedikit menambahkan, itulah mengapa seringkali pekerjaan-pekerjaan ini disebut “tidak normal,” yaitu karena jam kerjanya yang tidak seperti pada umumnya—jam 8-5.

Sekedar mengkontraskan. Mereka-mereka yang tidak menganut pengorganisasian hidup seperti ini, tentu tidak memiliki jam tidur yang sama. Bisa dilihat dari, misalnya, pengemis, gelandangan dan anak-anak terlantar (yang konon dipelihara negara). Mereka tidak memiliki jam kerja yang fix. Bahkan, mereka tidak memiliki konsep ‘kerja’ yang jelas pula. Apapun definisi kelas mereka, yang pasti mereka bukan borjuis kecil. Lainnya, pada borjuis “besar,” misalnya CEO, komisaris, direktur, bos. Mereka sering kali tidak terikat jam kerja (dan tempat kerja) yang fix. Mereka bisa datang dan keluar kantor sewaktu-waktu; pula mereka juga bekerja sewaktu-waktu. Pola kerja seperti ini hanya dimungkinkan apabila seseorang mempunyai tingkat aksesi yang tinggi pada modal tentunya.

Malam-mingguan, berikutnya, adalah waktu dimana orang berhenti bekerja dan beristirahat. Setelah lelah dan penat bekerja sampai hari Jumat, tepatnya selepas jam kerja—biasanya jam 5 sore, maka tiba saatnya orang untuk melakukan ‘non-kerja’. Untuk mengisi waktu non-kerja ini, biasanya orang berekreasi, tamasya, dugem, main, dst, dan yang pasti bukan bekerja! Akibatnya, saat ada orang bekerja di saat-saat yang, dari sudut pandang pengorganisasian jam hidup kapitalis, seharusnya saatnya non-kerja, maka ia akan mendapat teguran: “sabtu-sabtu kok masuk kantor?” “malem mingguan kok kerja?” dst. Teguran ini, sama seperti ungkapan di atas, tidak sebaiknya diragukan ketulusannya. Teguran ini adalah reaksi spontan atas suatu hal yang tidak “normal.”

Saya pribadi pernah mengalaminya. Saat sedang berkumpul dengan beberapa kawan di sebuah bar, mendengar musik ajoji, tiba-tiba seseorang perempuan datang mengenakan pakaian yang, menurut saya dan kawan-kawan saya, unik. Sontak kami mengomentarinya. Berniat iseng, saya mengomentarinya dengan sedikit bernada “akademis.” “Jadi, kalau menurut psikoanalisis Lacan, cewek itu benernya sedang ingin memerangkap tatapan (gaze) orang sembari dia juga terperangkap jejaring gaze itu sendiri……..,” belum sempat saya menyelesaikan “analisis iseng” saya, seorang kawan saya menghardik, “ayolah bro! ini bukan di kampus. Jangan ngomong berat-beratlah. Malem-minggu ini men. Get a life!

Jadi jelas dalam hardikan tersebut, kawan saya melihat saya sedang tidak melakukan non-kerja dalam mengomentari perempuan berpakaian unik tadi. Semenjak saya bekerja di kampus, dan pekerjaan saya erat kaitannya dengan akademika, maka saat saya menganalisis tadi, itu diasosiasikan dengan kerja. Dan semenjak itu pada hari Jumat malam—bukan jam kerja, dan pada malam-minggu—maka saya dianggapnya “melanggar” pengorganisasian hidup yang “normal.”

Sekali lagi. Di sini terlihat jelas bahwa sedari mula, istilah ‘malam-minggu’ dan ‘malam-mingguan’ adalah istilah yang sangat idiologis. Ia mengasumsikan pengorganisasian hari kerja tertentu, jam kerja tertentu, dan bentuk aktivitas bernama kerja yang juga tertentu … yang tentunya adalah kapitalis. Istilah ‘malam minggu’, yang tepatnya jatuh pada hari Jumat Malam dan Sabtu, tidak akan mungkin ada jika tidak disepakati secara umum, normal dan lazim, bahwa hari kerja hanyalah hari Senin sampai Jumat (jam 5 sore). Konsepsi malam-mingguan sebagai waktu bersenang-senang, rileks, dan waktu keluarga, tentu juga tidak akan mungkin jika tidak disepakati bahwa kesemuanya itu tidak akan didapat saat bekerja. Pembedaan kerja dan non-kerja tertentu harus disepakati lebih dahulu supaya konsepsi ‘malam-minggu’ dan kata kerja ‘malam-mingguan’ bisa dimungkinkan maknanya seperti yang sedang berlaku saat ini.

Pembedaan kerja dan non-kerja ini umumnya akan berbuntut pada atributasi konsep kesenangan: kerja adalah tidak menyenangkan; non-kerja adalah menyenangkan. Di sini bisa dipahami, misalnya, istilah ‘lembur’ dan konotasi penderitaan yang tidak menyenangkan yang terkandung dalamnya. Pula ungkapan-ungkapan populer seperti “TGIF—Thanks God It’s Friday,” atau lainnya, “I hate Monday!” Jumat sore dianggap sebagai saat dimulainya bersenang-senang, sementara Senin diangap sebagai saat diawalinya penderitaan seminggu.

Lagi-lagi, ini hanya berlaku bagi borjuis kecil. Orang-orang miskin, gelandangan dan anak terlantar (yang konon katanya dipelihara negara), tentu tidak mengenal waktu “malam mingguan.” Yang mereka lakukan ya itu-itu saja: mengemis, mengais-ngais makanan sisa, berkeliaran nggak jelas, dst., yang bahkan juga tidak jelas itu sah digolongkan pada konsep ‘kerja’ atau ‘non-kerja’. Demikian pula bagi para borjuis “besar.” Semenjak waktu yang longgar dan bisa diatur sendiri, maka bagi mereka, hari apapun bisa disulap menjadi “malam minggu.”

Lalu, kedua kelompok orang ini—orang miskin dan borjuis besar—masuk dalam pengorganisasian hidup seperti apa? Bagian kedua akan menjawabnya, yang kemudian akan ditarik implikasinya di bagian ketiga.

Namun sebelumnya, setidaknya janji saya di awal sudah terpenuhi satu, yaitu untuk menunjukkan bahwa istilah “begadang” dan “malam minggu” adalah manifestasi idiologis pengorganisasian hidup khas kapitalisme par excellence!

 

…. bersambung ke Bagian II