Tag Archives: Pembelajaran

Pembelajaran Dalam dan Melampaui Paradigma Pengkhotbah

Standard

Pembelajaran Dalam dan Melampaui Paradigma Pengkhotbah

 Hizkia Yosie Polimpung

Ulasan artikel:

Charalambos Vrasidas, “Constructivism versus Objectivism: Implications for Interaction, Course Design, and Evaluation in Distance Education,” International Journal of Educational Telecommunication, 6, 4 (2000).

Perdebatan teoritik, bahkan filosofis, mengenai obyektivisme dan subtektivisme seputar agen melawan struktur, nampaknya masih belum akan berakhir. Berbagai proposal untuk membela satu dan melawan yang lainnya makin bermunculan. Tidak sedikit pula yang berusaha menawarkan jalan untuk keluar dari kebuntuan perdebatan di antara keduanya, dengan menawarkan semacam “jalan tengah” antara keduanya. Namun demikian, sering perdebatan ini tidak dilakukan dengan saling meng-address problem yang dikemukan masing-masing. Sehingga basis evaluasi teoritik/filosofis satu sama lainnya menjadi absen. Akhirnya, perdebatan yang ada hanya menjadi debat kusir yang berlarut-larut. Kepada mereka yang mencoba menawarkan jalan tengah pun sering kali telah keliru sedari memposisikan problem yang fundamental yang menjadi titik perdebatan kedua kubu. Akhirnya, jalan tengah itu sendiri, bukan hanya menjadi kabur dan tidak jelas, melainkan menjadi salah sasaran, dan bukannya menyelesaikan permasalahan perdebatan, ia malah menjadi posisi sendiri yang juga turut mengambil posisi dalam perdebatan tersebut.

Hal inilah yang akan saya tunjukan melalui ulasan terhadap artikel Charalambos Vrasidas ini. Dalam percabangan perdebatan obyektivis-subyektivis di atas, nampaknya Vrasidas memposisikan dirinya—disadari atau tidak—dalam posisi ketiga, yaitu posisi yang mencoba mencari jalan tengah antara obyektivis dan subyektivis—atau yang dalam tulisannya disebut konstruktivis. Hal ini terlihat dari penekanannya untuk tidak membuang salah satu sembari mengagung-agungkan lainnya, dan dari keyakinannya bahwa “it always depends on the context, content, resources, and learners” (14). Keyakinan bahwa segala sesuatunya “tergantung pada konteks” ini, sayangnya, tidak mampu dijelaskan secara mendetil, sehingga pertanyaan sederhana akan segera masuk dan membuat argumentasinya menjadi tidak relevan dari segi praksis: “apa pertanda dan kriteria momen dimana saya harus menjadi obyektif, atau konstruktivis?” Solusi “tergantung konteks” Vrasidas ini, dari perspektif filosofis, nampaknya berusaha menghindari perdebatan ontologis tentang determinasi being itu sendiri. Implikasinya, solusinya menjadi tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara filosofis, yang ironisnya, adalah justru pendasaran filosofis ini yang ingin dibahasnya dalam tulisan.

Vrasidas membahas problem filosofis ini dalam rangka memberika pendasaran filosofis bagi problem yang dijumpainya dalam proses pembelajaran jarak jauh (distance learning), yaitu problem efektivitas pembelajaran, terutama dalam konteks pembelajaran jarak jauh. Secara umum, ia menunjukkan terdapat dua pengkutuban dala pembahasan mengenai proses pebelajaran ini, yang pertama obyektivis, yang olehnya seluruh pendidikan diarahkan pada perubahan prilaku dan struktur kognisi melalui instrumen-instrumen pendidikan yang obyektif: sedari pengidentifikasi tujuan, pemilihan model pembelajaran, pengorganisasian proses pembelajaran, sampai evaluasi terhadapnya (3). Seluruh proses di atas disusun berdasarkan standar-standar tertentu yang (diharapkan) mampu mengarahkan prilaku peserta belajar. Implisit dalam asumsi obyektivis adalah bahwa prilaku manusia memiliki pola obyektif yang apabila dipelajari dengan baik, ia dapat dibuatkan suatu model. Model pembelajaran obyektivis inilah yang (dikira) mampu mirroring realita ‘pola obyektif prilaku’ ini, yang karenanya bisa memodifikasi prilaku sedemikan rupa untuk mengarahkan ya pada proses pembelajaran.

Konstruktivis, sebaliknya, berangkat dari asumsi tentang realitas yang berbeda. Jika bagi obyektivis realita (dalam hal ini, prilaku) diyakini memiliki pola universal, maka subyektivis memandang bahwa tidak ada pola universal atas realita. Deskripsi mengenai pola realitas, dengan demikian, adalah hasil konstruksi kreatif subyek atas realita tersebut. Sehingga, dengan penekanan bergeser kepada bagaimana subyek mengkonstruksi realitas, dan semenjak subyek mengkonstruksi realitanya berbeda-beda, maka akan ada banyak versi mengenai realitas. Tidak ada penjelasan tunggal dan absolut mengenai realitas. Demikianlah konstruktivis memandang prilaku belajar: ia tidak memiliki pola tertentu yang atasnya bisa diciptakan model yang baku. Hal ini berdampak pada imaji konstruktivis mengenai desain pembelajaran, yang diarahkan untuk, sebagaimana yang dikutip Vrasidas dari Cobb, “both process of active individual construction and a process of enculturation” (7). Mendorong peserta belajar untuk aktif menginterpretasikan realita, atau dalam bahasa Vrasidas, “[to] provide for opprtunities for learners to develop the skills necessary to further explore a given domain” (9).

Terhadap percabangan pendekatan inilah Vrasidas mengusulkan solusi “tergantung konteks”-nya, walaupun ia nampaknya agak condong ke konstruktivis (bdk. 13)—namun tetap saja, pilihan ini tidak memiliki pendasaran filosofis. Berikutnya saya akan mencoba menunjukkan problem “tergantung konteks” ini secara spesifik, yaitu dalam problem efektivitas pembelajaran.

Pradigma pengkhotbah

Terlihat jelas dalam pembahasan Vrasidas bahwa ada satu tema besar yang tidak disentuh, dengan demikian diterima begitu saja (taken for granted), baik oleh perdebatan yang disajikannya, oleh posisinya sendiri, dan juga oleh usulan “tergantung konteks”-nya. Tema besar itu adalah bahwa proses pembelajaran diasumsikan sama dengan, sebagaimana kesan kuat yang saya tangkap dari tulisan tersebut, proses transfer pengetahuan. Dengan pengasumsian demikian, oleh kaum obyektivis, seolah-olah diposisikan para peserta belajar sebagai yang-tidak-punya-pengetahuan, sementara para guru sebagai yang-punya-pengetahuan. Demikian pula oleh konstruktivis, seolah-olah para peserta belajar adalah yang tidak mampu mengkonstruksi realitanya sendiri tanpa diarahkan dan difasilitasi oleh para guru, yang pada gilirannya, diasumsikan mampu mengkonstruksikan realitanya, sehingga punya hak dan otoritas untuk membantu mengarahkan para peserta belajarnya. Paradigma pendidikan seperti ini akan saya sebut sebagai paradigma pengkhotbah, yang di dalamnya, para guru tidak lebih dari sekedar pengkhotbah-pengkhotbah yang mengkhotbahkan “pengetahuan” (atau dogma) kepada sekumpulan umat yang tidak memiliki pengetahuan dan yang tidak mampu mengkonstruksi pengetahuan.

Paradigma pengkhotbah ini yang menurut saya telah keliru dalam memahami motivasi mendasar subyek belajar terhadap pengetahuan. Relasi ‘subyek – pengetahuan’ diasumsikan absolut, diasumsikan bahwa semua peserta didik menginginkan pengetahuan tersebut. Implikasinya, paradigma ini akhinya akan gagal menjelaskan fenomena-fenomena dimana secanggih apapun metode pembelajarannya, sampai hari ini, ‘toh tetap saja banyak peserta ajar yang malas belajar, sering bolos, sering gagal menerima ‘transfer pengetahuan’ dengan baik. Akhirnya, dinisbatkanlah predikat-predikat patologis untuk peserta ajar demikian: ‘kognisi lemah’, ‘anak bermasalah’, atau bahkan ‘anak nakal’, ‘tidak diajari orang tua’, dst. Horizon paradigma pengkhotbah akan membuat para guru yang menganutnya untuk terus mengemban tugas suci mulianya untuk berkhotbah, dan bagi yang tidak menurut khotbahnya: dihukum. Sebaliknya, paradigma ini tidak hanya bisa diidap para guru, melainkan juga para peserta ajar. Peserta ajar yang terjerat paradigma pengkhotbah ini akan menganggap bahwa ia akan selalu membutuhkan tuntunan, bimbingan, arahan, dan supervisi para guru/pengkhotbahnya untuk menjadi “berpengeahuan.” Sehingga problem kedua bagi paradigma ini, bagi saya, adalah bahwa otonomi pembelajaran sama sekali tidak mendapatkan tempat. Akibatnya, relasi kesetaraan tidak pernah ada dalam desain-desain pembelajaran.

Mencoba memberikan tawaran untuk memecahkan deadlock filosofis yang diderita Vrasiadis—ketidak-mampuannya untuk mempertanggung-jawabkan “tergantung konteks”-nya—dan problem paradigma pengkhotbahnya, saya mengusulkan untuk memasukkan otonomi dalam pembelajaran. Otonomi yang dimaksud bukan hanya di taraf pengkonstruksi pengetahuan (seperti yang paling jauh dapat dibayangkan para konstruktivis), melainkan otonomi dalam menentukan kondisi-kondisi yang membuat dia belajar atau tidak. Di sini, psikoanalisis Jacques Lacan kiranya berguna untuk disimak,

If there is one thing that psychoanalysis should force us to maintain obstinately, it’s that the desire for knowledge bears no relation to knowledgethe desire to know is not what leads to knowledge. What leads to knowledge is—allow me to justify this in the more or less long term—the hysteric’s discourse.[1]

 

Psikoanalisis Lacan mampu mengkoreksi cara pandang kita tentang relasi ‘subyek – pengetahuan’, yang ternyata, sama sekali tidak berkaitan dengan pengetahuan. Subyek, dalam belajar, memiliki motivasi-motivasi yang diluar dari keterpelajaran itu sendiri. Contoh dalam hari-hari ini, subyek belajar supaya, misalnya: mendapat gelar untuk bekerja, dipandang intelek, untuk memikat tambatan hati, untuk menyenangkan orang tua, untuk memenuhi tugas suci agama, untuk berbakti pada nusa dan bangsa, dst. Semua motivasi ini sama sekali diluar dari logika pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan-demi-pengetahuan (artes liberal). Pengetahuan, bagi subyek, selalu untuk sesuatu yang lain selain pengetahuan itu sendiri. Di sinilah para guru (baca: pengkhotbah) perlu memahami logika belajar yang dipakai subyek dalam belajar.

Lacan menunjukkan, bahwa yang membawa peserta ajar kepada pengetahuan, bukan rupa-rupa desain pembelajaran yang dibahas Vrasidas per se, melainkan pada hasrat yang memantiknya, atau yang disebut Lacan sebagai hasrat subyek histeris. Subyek histeris, singkatnya, merupakan subyek yang berada dalam tarik-menarik ketegangan antara realita yang dihadapinya, dengan idiologi yang diyakininya (dalam bahasa Lacan, super-ego, atau Master, atau Big Other). Saat dikonfrontasi dengan realitas ini, sang subyek akan menjadi histeris, ia akan mulai mempertanyakan keyakinan idiologisnya. Ia akan terpantik untuk mejelaskan realitas yang mengkonfrontasi kenyamanan eksistensialnya tersebut, atau dengan kata lain, ia akan terpicu untuk mencari pengetahuan yang mampu menjelaskan semua realitas tersebut. Di sini, pengetahuan merupakan, bahasa Frederic Jameson menginterpretasi Lacan, vanishing mediator untuk sampai kepada kenyamanan eksistensial. Kenyaman eksistensial ini didapat saat sang subyek merasa “everything is in control,” segala sesuatunya terjelaskan, segala sesuatunya tidak ambigu. Konsekuensinya, subyek akan merasa stabil dengan pengetahuan ini. Atau setidaknya, jika problem dari realitas itu belum mampu diselesaikannya, sang subyek tahu harus melakukan apa atau menyasar siapa untuk menyelesaikan problem realitas tersebut.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh para guru? Berangkat dari pandangan Lacanian ini, maka tugas utama seorang guru adalah bukan ditingkatan internal sang individu—proses histerianya dan prosesnya mencari pengetahuan untuk menenangkan histeria, melainkan ditingkatan realitas. Guru Lacanian, adalah guru yang mampu menunjukkan suatu horor ketegangan dari realita yang nampaknya normal-normal saja, lantas menyajikannya ke hadapan sang subyek belajar. Dengan menyajikan realitas yang lebih real dari realitas yang nampak normal-normal saja tadi, maka guru Lacanian melakukan suatu proses “pembelajaran”—jika kata ini masih bisa dipertahankan—melalui intervensi terhadap kondisi pembelajaran, dan sekali lagi, bukan di sisi subyek ajar. Dengan menunjukkan problem-problem realitas inilah guru Lacanian keluar dari jebakan mesianik paradigma pengkhotbah. Otonomi subyek ajar dalam menginterpretasikan problem realitas tetap terjaga, begitu pula proses pembelajarannya dalam menyelesaikan problem tersebut. Guru Lacanian, dalam proses belajar ini, menyajikan problem kepada para peserta ajar, yang dalam proses pembelajarannya, bersama-sama dicoba untuk dipecahkan dan dicarikan solusinya. [HYP]


[1] Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan: The Other Side of Psychoanalysis, Book XVII, terj. R. Grigg (London, NY: W. W. Norton & Company, 2007), hal. 23. Cetak tebal dan cetak miring merupakan penekanan saya.