Tag Archives: uang

Mengeskplisitkan asumsi kita tentang mengapa uang bukanlah uang pada dirinya sendiri? (1)

Standard

Apakah kita benar-benar percaya uang yang kita pakai untuk membeli suatu barang adalah benar-benar mampu menilai barang tersebut? Lalu apakah kita benar-benar percaya bahwa uang itu adalah memang uang—bukankah ia cuma kertas yang bisa saja saya cetak dengan printer saya di rumah? Tulisan ini mungkin bisa mencoba memberi jawaban. Bukan melalui buku teks dan teori-teori besar. Tapi cukup dengan logika sederhana. Soalnya, hal ini sudah selalu kita asumsikan dalam tindakan kita sehari-hari. Yang perlu kita lakukan kalau begitu cuma satu: ikuti logika kita pelan-pelan dan sabar. Ya, pelan-pelan, soalnya hari ini kita sudah terlatih untuk berpikir instan dan ogah yang panjang-panjang. Terimakasih untuk cwider, detik.com dan sejawatnya. Juga sabar, karena kali ini kita yang akan berpikir sendiri, bukan seperti kebiasaan kita melempar tanggung jawab berpikir ke orang-orang yang kita coblos, atau kita bayar, atau kita perentahken. LOL.

 

 

coin owl

 

Oke, mari bayangkan keadaan sebelum ada uang. Saat orang masih bertukar barang satu sama lain. Sampai suatu hari, muncul permasalahan: misalnya, saya yang bertarung mati-matian dengan babi hutan, merasa tidak rela menukarkan sebagian buruan saya itu dengan setangkup beras; sederhana saja, saya merasa itu tidak sebanding. Kesebandingan inilah yang membuat sistem tukar menukar ini menjadi bermasalah. Orang kesulitan menakar nilai baik barangnya sendiri maupun barang yang mau dipertukarkan dari orang lain. Belum lagi saya menakar nilai kerja saya untuk membantu tetangga saya membangun rumah, dan hanya diberi ucapan terima kasih bersenyumkan simpul. Di sinilah perlahan muncul kebutuhan dan akhirnya inisiatif untuk memulai standarisasi “nilai” barang, sedemikian rupa sehingga setiap barang bisa mendapatkan acuan nilai yang sama dan akhirnya bisa diperbandingkan.

Standar ini biasanya adalah barang berharga. Atau apapun yang disepakati (sebagai berharga) oleh orang-orang yang nantinya terikat dengan standar tersebut.  Batu berkilau, daun berurat zig-zag, mungkin.. atau perak dan emas. Dengan bersepakat menaksir babi hutan senilai 5 butir kelereng emas, maka teman saya bisa menukarkannya dengan 5 tangkup beras yang satu tangkupnya ditaksir 1 butir. Atau, apabila ia memiliki kelereng emas yang cukup, ia bisa memberikan saya langsung kelereng emas sebanyak 5 buah tersebut. Demikianlah alat tukar menjadi solusi bagi problem pertukaran. Setidaknya untuk sementara waktu.

Sebelum meneruskan cerita pertukaran itu, dari solusi ini saja sebenarnya kita bisa simpulkan beberapa hal terkait pertukaran ini, entah para petukarnya, lalu alat tukarnya, dan sesuatu yang dipertukarkan dengan alat tukar. Pertama, bahwa solusi tersebut sebenarnya menumpang pada dasar yang bukan miliknya. Jika kita cermati dalam proses pertukaran tadi, ada suatu mekanisme kesepakatan yang harus dicapai di antara pihak-pihak yang akan bertukar barang tersebut. Ada kesepakatan mengenai: 1) standar tukar yang diacu; 2) taksiran nilai dari barang masing-masing berdasarkan standar tadi.  Tanpa ada kesepakatan-kesepakatan ini sebagai dasar, maka mustahil pertukaran terjadi.  Ini memunculkan masalah baru, yaitu seputar apa yang membuat orang punya posisi tawar untuk bersepakat. Karena kemampuan orang untuk menyepakati sesuatu akan ditentukan dari posisi tawarnya; bisa saja orang terikat kesepakatan meski ia tidak ingin bersepakat, namun karena posisi tawarnya lemah, maka ia terpaksa bersepakat . Kedua, sistem ini disandarkan pada kesalingpercayaan timbal balik di antara pihak. Saya harus percaya bahwa orang lain yang kita akan ajak bertukar benar-benar telah bersepakat; begitu juga orang lain terhadap saya. Kesepakatan umum boleh ada, tapi yang terlebih penting adalah saat saya hendak bertukar dengan seseorang, maka ia harus menjalankan kesepakatan itu. Ini pun memunculkan pertanyaan baru mengenai bagaimana seseorang di satu sisi bisa dipercaya atau tidak (trust-worthiness), dan di sisi lain bisa meyakinkan orang lain untuk memercayai dirinya atau tidak (convincability).

Sekarang, kita alihkan pandangan kita dari para manusia-manusia petukar ini, ke arah alat tukar mereka. Pula masih dalam skema solusi ini, kita bisa simpulkan beberapa hal. Pertama, alat tukar yang dipakai, apapun itu bentuknya, sebenarnya hanya bisa menjadi dan diterima sebagai alat tukar sejauh ia disepakati; tanpa ada kesepakatan mengenai kebutuhan akan alat tukar, maka jangankan nilai taksiran, keseluruhan sistem pertukaran dengan standar baku tadi tidak akan pernah ada. Di sini, emas, perak dan benda apapun yang menjadi alat/standar tukar tidak serta-merta menjadi alat tukar; ia harus diletakkan, dimaknai dan dimanipulasi di dalam dan melalui suatu problematik sosial tertentu, yaitu ketidaksebandingan pertukaran. Ini sekiranya bisa menjadi pemanasan untuk kita memahami ‘uang’ yang layaknya seluruh alat tukar, bukanlah uang pada dirinya sendiri. Kedua, ada sesuatu dalam spesifisitas atau kerincian yang unik dari suatu alat tukar (apapun bentuknya) sehingga menarik para manusia untuk menjadikannya alat tukar. Maksudnya, bisa saja kita memilih pasir, atau helai rambut, atau kotoran kadal, misalnya, tapi mengapa kita memilih emas sebagai alat tukar? Sesuatu yang ada dalam emas namun yang melebihi emas itu sendiri inilah yang memungkinkan sang emas untuk bisa dijadikan suatu alat tukar. Tanpa sesuatu itu, ia tidak akan bisa menjadi alat tukar. Tapi apakah ‘sesuatu’ yang ada dalam emas namun melebihi emas itu sendiri ini? Untuk sementara kita sebut sesuatu ini sebagai ‘obyek X’.

Masih belum waktunya kembali menoleh ke manusia petukar, sekarang kita perlu perhatikan implikasi solusi tadi kali ini pada apa-apa yang dipertukarkan oleh manusia dengan alat tukar. Apa-apa ini, saya kira tidak berlebihan kalau sudah bisa kita sebut sebagai ‘komoditas’. Simpulan sementara yang bisa ditarik dari solusi tadi terkait komoditas, antara lain: pertama, kalau kita bersepakat bahwa sistem standar tukar ditopang oleh kepercayaan dan kesepakatan, dan kalau kita juga bersepakat bahwa ada obyek X dalam alat tukar yang memungkinkannya bisa diperbandingkan secara umum dengan komoditas-komditas tukar yang bermacam-macam, maka nilai tukar dari suatu komoditas tidak datang dari dirinya sendiri. Banyak persyaratan rumit yang membuat suatu komoditas menjadi layak tukar dan karenanya memiliki nilai tukar yang bisa diperbandingkan dengan komoditas lainnya melalui suatu standar tukar hasil kepercayaan dan kesepakatan manusia. Lagi-lagi, ini bisa menjadi pemanasan untuk kita nantinya memahami istilah lainnya, ‘harga’. Kedua, ada hal lain dari suatu komoditas yang membuatnya jadi menarik untuk dipertukarkan. Atau dengan kata lain, nasib suatu komoditas tentunya tidak terus menerus menjadi sesuatu yang dipertukarkan selamanya. Setelah ditukar, pastilah ia akan dipakai, dipergunakan, atau singkatnya dikonsumsi. Hal lain yang membuatnya diinginkan untuk dikonsumsi ini tidak lain adalah nilai gunanya, singkatnya kegunaan praktisnya sehari-hari. Sehingga pertanyaan baru yang akan lahir adalah seputar asal-usul kemunculan nilai guna ini pastinya.

Kemunculan aspek kegunaan dari suatu komoditas tentunya tidak tiba-tiba turun dari langit. Prakondisinya adalah adanya suatu kebutuhan yang persepsi akan pemenuhannya dilihat di komoditas tadi. Artinya apabila saya tidak melihat setangkup beras sebagai mampu memenuhi kebutuhan saya akan makanan pokok misalnya, maka sudah pasti beras tadi tidak akan memiliki kegunaan bagi saya, dan saya tidak akan repot-repot menyepakati dan memercayai suatu sistem standar tukar, dan akhirnya berpartisipasi dalam aktivitas pertukaran beras dengan orang lain. Lalu, persepsi ini datang dari mana?—pertanyaan baru lagi seketika muncul. Dari manapun itu, yang pasti ia sifatnya sosial dan kultural; dalam artian ia adalah hasil suatu pemaknaan (kultural) akan kebutuhan berikut pemenuhannya, yang muncul sebagai hasil dari interaksi bersama (sosial). Alhasil, lagi-lagi muncul faktor lain yang memungkinkan seseorang bisa mendominasi interaksi dan mengarahkan pemaknaan, yang kemudian membuat persoalan persepsi ini menjadi lebih kompleks lagi. Bisa kekuasaan, karisma, pengetahuan, atau kekerasan. Apapun itu, kita kesampingkan dulu; tetap fokus ke komoditasnya. Prakondisi lainnya adalah kenyataan bahwa komoditas tukar tadi tidak saya ciptakan sendiri—entah karena tidak mau, malas, tidak bisa, tidak mampu, dst. Artinya saya butuh orang lain untuk menciptakan komoditas yang saya persepsikan mampu memenuhi kebutuhan saya tersebut. Proses penciptaan komoditas inilah yang kita sebut-sebut dengan ‘kerja’.

Dan, dengan disebutkannya istilah yang terakhir ini, penjelasan akan semakin bertambah kompleks, bungbro dan jengsis! Karena artinya di dalam penilaian akan suatu komoditas, kita juga ikut menaksir nilai kerja yang terkandung di dalam komoditas tersebut. Maka secara otomatis, ‘kerja’ inipun ikut-ikutan menjadi komoditas itu sendiri! Kerja ini memiliki nilai tukar dan nilai kegunaan yang kemudian ditaksir dengan standar nilai tadi, dst., dsb.  Lagi-lagi masalah taksiran siapa yang dipakai dan taksiran siapa yang diabaikan akan muncul. Begitu pula dengan hal-hal lain seperti posisi tawar, kekuasaan, karisma, pengetahuan, atau kekerasan, yang membuat kita bisa menjadi juara dalam kontes penaksiran tersebut. Dan “berita baiknya” hal-hal ini pun bisa ikut-ikutan menjadi komoditas!!!

Sebelum makin melebar kemana-mana, kita kembali ke simpulan yang bisa ditarik dari solusi sistem tukar dalam kaitannya dengan komoditas. Sekarang simpulan ketiga. Memang nilai tukar dan nilai guna komoditas ditentukan oleh hal-hal yang berada di luarnya (nilai tukar: persepsi akannya, kesebandingannya dengan komoditas lain; nilai guna: nilai kerja si pencipta komoditas), tapi sebenarnya itu semua tetap harus bersama-sama mendarat dan berjumpa di spesifisitas dan kerincian kongkrit dari sang komoditas. (Antropolog hari-hari ini menyebutnya ‘materialitas’). Karena aspek kerincian inilah yang menjadi sasaran proyeksi persepsi kebutuhan kita, menjadi justifikasi dan aspek pembeda dari komoditas lainnya, dan juga menjadi sasaran/tujuan seseorang bekerja menciptakannya. Aspek kerincian ini adalah properti obyektif dari sang komoditas itu sendiri, dan bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian oleh subyektivitas manusia (persepsi, satuan ukuran pembeda; taksiran nilai).

Lalu pertanyaannya kemudian, apakah dengan suatu barang menjadi komoditas lantas hal itu berarti seluruh kerinciannya menjadi obyek si pencipta komoditas dan obyek konsumsi sang konsumen? Sayangnya tidak. Karena kerincian komoditas itu adalah sesuatu yang obyektif, artinya manusia harus berusaha menggapai itu. Manusia pertama-tama harus menyadarinya dahulu, lalu mencaritahu tentangnya, kemudian menggali dan mengolahnya dengan kerja, lalu menaksirnya dengan harga, lalu mempertukarkannya dan akhirna menggunakannya. Inilah rantai panjang yang menghubungkan kerincian obyektif dari komoditas dengan subyektivitas manusia yang diarahkan ke komoditas tersebut. Namun, bukan berarti dengan panjangnya rantai penghubung lantas menjamin 100% kerincian obyektif sang komoditas telah terjembatani dengan sempurna. Tentunya tidak. Beras yang saya tukarkan dengan kelereng emas, memang telah disadari sebagai pemenuh kebutuhan di kala lapar, ia telah diketahui khasiatnya, dan kerja-kerja penciptaannya telah dilakukan dengan berbagai cara. Buktinya saya bisa menemukan beras diciptakan oleh orang-orang lain. Tentunya orang-orang tersebut juga menyadari dan mengetahui hal yang sama dengan saya. Bagaimanapun juga, tetap ini tidak menjamin bahwa keseluruhan kerincian beras sudah dijembatani secara absolut. Soalnya, tiba-tiba, kerabat saya membuat istana-istanaan dari beras, dan saya dengar tetangga saja membunuh penggoda suaminya dengan menimpuki dengan beras belasan karung. Artinya, dengan segala kerinciannya beras ini mungkin untuk melakukan, menjadikan mungkin, menghasilkan, dst., efek lain, selain yang saya sadari, ketahui dan kerjakan selama ini! Kerincian komoditas dengan demikian adalah selalu berupa potensialitas terbuka yang hanya bisa secara sebagian dijembatani oleh manusia. Ia tidak mungkin secara total dijangkau oleh seluruh upaya-upaya dan subyektivitas manusia.

Perlu catatan sedikit di sini. Apakah dengan dikatakan “secara sebagian dijembatani manusia” itu artinya manusia memang telah berhasil menjemput sebagian dari kerincian komoditas tersebut?—sehingga kita bisa semacam mencicil sedikit demi sedikit untuk mengevakuasi seluruh kerincian tersebut. Mari kita cermati lebih dekat lagi. Dan kali ini sebaiknya dengan lebih merendahkan hati manusia kita. Karena selama kita selalu mengukur obyektivitas dengan ukuran-ukuran kita, maka selamanya kita hanya melihat diri kita di obyek-obyek itu. Apakah berat dari satu kilo beras adalah benar-benar satu kilo? Yang benar saja: ‘kilo’ adalah satuan yang kita ciptakan lalu kita kenakan ke si beras; si beras itu sendiri tentunya tidak tahu menahu dan tidak ada urusannya dengan kilo-kiloan itu. Jadi, pada dasarnya, dengan mengetahui, menyadari, mempekerjakan, dan menukarkan kerincian komoditas, kita sebenarnya tidak menyentuh apapun dari kerincian obyektif komoditas. Yang kita lakukan adalah menerjemahkannya, membahasakannya, memaknainya dan merekayasanya seturut subyektivitas kita. Tidak lebih. Kerincian komoditas akan selalu menjadi potensialitas terbuka.

Catatan ini, walaupun kecil, amat penting. Karena ini akan membantu kita juga dalam memahami cara kerja alat tukar dalam memperbandingkan dan menyebangunkan dirinya dengan rupa-rupa komoditas ini. Karena yang coba diakses oleh alat tukar ini sebenarnya bukanlah kerincian obyektif dari komoditas tersebut, melainkan subyektivitas manusia yang diproyeksikan ke kerincian komoditas tersebut melalui proses kesadaran, pengetahuan, kerja dan pertukaran. Paradoks, alat tukar mencoba mengukur sesuatu yang tidak terukur! Bisakah potensialitas terbuka diukur, disebangunkan dan diperbandingkan? Bisa saja; karena toh ukuran dan kesebangunan tersebut adalah bisa-bisanya subyektivitas manusia. Dan kita juga sangat tahu bagaimana itu ditentukan oleh banyak faktor seperti posisi tawar, kekuasaan, dst. Namun, dengan penjelasan saya tadi, kini kita bisa tahu pasti bahwa sebenarnya pengetahuan itu bukanlah tentang si komoditas itu sendiri, melainkan pengetahuan yang kita susun mengenainya. Tapi tenang saja, ada satu cara untuk bisa setidaknya mencicipi pengetahuan obyektif ini. Yaitu saat pengetahuan kita akan komoditas itu gagal: gagal mengukur, gagal menyebangunkan, gagal memperbandingkan. Artinya saat rezim pengetahuan dan pengukuran komoditas itu roboh, maka kita dapati pengetahuan obyektif mengenai komoditas berikut kerinciannya: yaitu ia tidak terukurkan. Sehingga di sini akan mencuatkan pertanyaan lainnya: apa yang membuat suatu rezim pengukuran nilai komoditas bisa ada dan langgeng sekalipun sang komoditas itu sendiri pada dasarnya adalah tak terukurkan?

Setidaknya melalui solusi standar tukar sederhana ini kita bisa mendapat hal-hal fundamental mengenai dinamika dan komponen-komponen yang terlibat dalam pertukaran itu sendiri yang padahal sebenarnya sudah kita lakukan sehari-hari. Yang kita perlu adalah mengikuti dan mengamati logika rasional kita saja. Dengan memahami ini, maka kita bisa bersiap untuk memahami standar tukar berikutnya yang bisa jadi lebih kompleks, yaitu dengan uang yang kita praktikkan sehari-hari. Yap, uang dan uang-uangan lainnya (cek, saham, sekuritas, sekuritisasi, reksa dana, derivatif, obligasi, kontrak berjangka, dst.). [PFH]