Tag Archives: virno

Mengenang “Buruh”

Standard

Buruh. Siapa buruh? Apa yang membuat dia disebut buruh? Buruh adalah mereka yang  tidak memiliki alat produksi, sehingga mereka harus bekerja pada kaum pemilik alat produksi. Mungkin Karl Marx akan menjawab demikian. Tetapi masalah yang muncul zaman sekarang, apabila kita masih mempertahankan definisi itu, apalagi ikut-ikutan Marx dengan menekankan pada alat produksi, maka nampaknya kita harus meredefinisi definisi ‘buruh’ kita. Apakah alat produksi, atau yang infamously dijuluki dengan ‘kapital’ ini? Alat-alat besar? Uang banyak? Atau mungkin apa yang disebut sekarang sebagai “pengetahuan”?

Mungkin akan sangat berguna apabila kita pertimbangkan gagasan Paolo Virno (dalam A Grammar of Multitude, Semiotext(e) 2004) bahwa era saat ini adalah era “komunisme kapital.” Argumentasinya adalah bahwa sebenarnya kapital itu, saat ini, bukan lagi kapital sebagaimana dimengerti oleh Marx di zamannya. Kapital, demikian Virno, sudah berevolusi maknanya. Kapital tidak lagi dimengerti sebagai sesuatu yang materialistik. Kapital itu sudah dimiliki oleh semua orang! Semua orang saat ini adalah kapitalis!—mungkin ini yang ingin dikatakan Virno. Mengapa? Karena kapital adalah kehidupan itu sendiri.

Kapitalisme berhasil mereduksi kehidupan manusia (pada umumnya) menjadi semata-mata untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini membuat pertanyaan-pertanyaan seputar kapital bukan lagi: “apa yang kau punya,” tetapi menjadi “kau bisa apa?” Jika kau cakap berbicara, jadilah juru kampanye. Jika kau bisa menganalisis, jadilah staf ahli. Jika kau bisa mengajar, jadilah guru. Jika kau bisa berceramah, jadilah pendeta. Jika kau tidak bisa apa-apa, setidaknya kau bisa melakukan sesuatu dengan tubuhmu: bekerjalah sebagai pembantu, atau pasukan kuning, atau pelacur. Jadi, “what are you capable of?”

Inilah yang mereduksi seluruh pengetahuan menjadi semata-mata “know-how.” Tidak jarang kita ditanya “nanti jurusanmu kerjanya apa?” Atau mungkin seperti yang saya, dan mungkin beberapa anak FISIP, alami: “gimana bisa kaya kalo kamu nanti cuma jadi pekerja sosial? Kenapa nggak masuk ekonomi atau kedokteran sih?—sekarang ini anak ekonomi lagi banyak dicari perusahaan-perusahaan loh!” Di sebuah seminar tentang BHP, pernah saya tantang para peserta untuk mengingat-ingat apa kata-kata motivasi dari orang tua mereka (bagi yang masih sekolah/kuliah) atau dari mereka sendiri untuk anak-anak/adik mereka (bagi yang sudah tidak /selesai sekolah). Saat itu saya katakan, “silakan angkat tangan jika anda/orang tua anda tidak berkata kurang lebih demikian ‘nak, sekolah yang baik ya, biar dapet kerja yang baik juga, supaya bisa bantu orang tua’!” Dan…tidak ada yang mengangkat tangan.

Tentu, saya yakin, insyayesus, tidak semua kita/orang tua kita seperti itu. Tapi sulit dipungkiri kebanyakan kita/orang tua kita seperti itu. Ini semua apa yang disebut Zizek sebagai “utopia kapitalistik”—bisa beli rumah di Citra Land, sedan BMW Z3, bisa mentraktir cewek-cewek seksi di Duck King, bisa berlibur dengan Awani Dream, dst. Di era kapitalisme lanjut (spatcapitalismus) saat ini, atau saya lebih suka menyebutnya, seperti Virno, Negri, dkk., Advanced Capitalism, KITA semua adalah buruh. KITA semua proletar itu. Jadi, hari buruh ini seharusnya KITA semua rayakan, bukan sebagai “aktivis peduli buruh,” tetapi sebagai buruh itu sendiri. Harusnya…