Tag Archives: Purusha

Tentang Tuan tanpa Kepala (Refleksi tentang bentuk baru Koperasi Riset Purusha)

Standard

Saya ingin memberi refleksi terkait perkembangan terkini dari koperasi saya, Koperasi Riset Purusha. Pandangan ini tentu saja dari perspektif personal saya. .. Tentunya saya bisa bilang “personal saya” dengan santai karena personalitas saya sudah tidak lagi disandangi predikat ketua koperasi :p

 

krp

Unit-unit usaha dan gerakan di dalam Koperasi Riset Purusha (rancang-ulang o/ Cecil Mariani).

Di Rapat Anggota Tahunan (RAT) kemarin, kami melakukan suatu terobosan historis terkait eksperimentasi bentuk organisasi yang kooperatif. Di RAT kemarin kami mengakhiri dan membubarkan struktur kepengurusan dan kepengawasan organisasi. Refleksi yang muncul adalah bahwa sedari struktur tersebut, imajinasi kolektif kita sudah terbatasi: ‘pengurus’ mengasumsikan ada yang ‘diurus’ dan ‘mengurusi’; hal ini yang nyatanya berlawanan dengan ide otonomi yang disepakati menjadi corak bersama. Otonomi – dan bukan individualisme – adalah kondisi yang mana seseorang memiliki kuasa atas pilihan-pilihan kreatifnya; kolektif yang otonom tentunya mutlak mensyaratkan inisiatif kreatif dari para anggotanya yang otonom. (Tentu problem otonomi ini tidak akan selesai dengan arsitektur organisasi; faktor modal yang memungkinkan seseorang menjadi otonom dan kreatif tentu di-address dengan program/metode lain juga).

Mencoba mengatasi hal tersebut kami menjajal ide tentang struktur sentral yang “tanpa kepala” namun memiliki banyak organ yang ad-hoc. Dikatakan sentral karena ia mencakup visi besar dan master-plan gerak strategis koperasi ke depannya; proses penentuannya tersentral di Rapat Anggota. Ia tanpa-kepala, karena cockpit “kepemimpinan” di kepengurusan kami urai sedemikian rupa sehinnga ia menampakkan natur sesungguhnya sebagai kerja administratif dan manajerial, alias kerja “rumah tangga” organisasi (atau bahasa beratnya, ‘kerja reproduktif’), yaitu kerja-kerja di “belakang layar” (yang erat kaitan sejarahnya dengan kerja-kerja unpaid, non-heroik dan cenderung “feminin”).

Tidak hanya itu, untuk menjamin bahwa tidak ada yang terbelenggu kerja-kerja dapuran ini (yang disejarahnya telah membelenggu salah satu jender, sehingga melemahkan dan menyita kesempatannya untuk mengakses kerja produktif dan akumulasi potensi kreatifnya), maka kami menggilir kerja adminisitratif manajerial ini dengan metode piket. Posisi kelompok piket ini, yaitu pengganti “pengurus,” kami sebut Kolegial Kolektif atau sok keminggrisnya, Collective-Collegials (CC). CC ini akan piket bergilir selama tiga bulan sekali untuk menangani perkara kesekretariatan, kebendaharaan, kehumasan dan keorganisasian. Karakter CC yang berpiket secara bergilir ini adalah untuk menjamin supaya sentralisasi proses strategis Koperasi tidak lantas sama dengan sentralisasi proses tersebut ke seorang ketua/master (yang menjadi undangan terbuka bagi akumulasi dan eksploitasi kekuasaan personal). Dengan struktur berbasis CC ini, posisi master (visi, strategi, corak, prinsip, planning) tetap ada, hanya saja ia kini tanpa kepala.

Dengan struktur berbasis CC ini, posisi master (visi, strategi, corak, prinsip, planning) tetap ada, hanya saja ia kini tanpa kepala.

 

main-qimg-6e48de10f3fee51597cc14845fb0f69c

“Execution of Louis XVI” – German copperplate engraving, 1793, by Georg Heinrich Sieveking (Gambar dari Wikipedia)

 

Lalu belajar dari gagap dan lambatnya suatu struktur dan proses hirarkis (apalagi yang sok demokratis) secara praktis di lapangan, ditambah kondisi anggota kami di megalopolitan yang mana semua orang mau nggak mau harus sibuk dengan deadline-deadline-nya dalam ekonomi prekariat.. eh ekonomi kreatif.. ditambah lagi macet yang menyedot asa dan chakra dan menyulap kami jadi males-gerak, maka kami mencoba bentuk kerja yang lebih fleksibel, agile, dan – ini penting – ad hoc. Kerja-kerja produktif koperasi – yi. event, riset, jasa, workshop, diskusi, dst., dsb. – kini dijalankan oleh badan yang swa-inisiasi, swa-organisasi dan ad-hoc bernama Inisiatif Kerja atau yang lagi-lagi keminggrisnya adalah Working Initiatives (WI).

WI-WI bisa terbentuk dengan berapapun anggota, kapanpun dan untuk kerja apapun atas nama Koperasi: mulai dari diskusi santai sampai proyek riset multi-tahun, mulai dari workshop editing sampai bikin akademi/sekolah. WI-WI ini hanya perlu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan CC yang sedang giliran piket. Dengan begini, harapannya, ide-ide kegiatan/kerja/riset yang selama ini berkeliaran bisa langsung segera diimplementasikan: dapet ide, cari 2 atau 3 teman/anggota lainnya, langsung eksekusi. Secara keorganisasian, luaran-luaran kerja dari WI ini akan mengisi “portfolio” unit-unit usaha kami yang sudah ada – Owl House, Pusel, Minerva, Playbour, Forks, Riskon, Gereks dan Prakerti (dan unit penerbitan yang sudah disepakati namun belum bernama) – yang kini semuanya adalah organ-organ transparan yang seluruh denyut kehidupannya ditentukan oleh inisiatif dan kerja anggota. Hanya saja, unit yang sudah memiliki basis produksinya sendiri – kedai dan klinik terapi – masih tetap dipertahankan bentuknya yang “berpenghuni”. Sementara unit lain, sama seperti organisasinya, kini berubah menjadi tubuh-tubuh yang tanpa kepala. ‘Tanpa kepala’ tidak lantas berarti absennya kepala, melainkan ia harus diartikan sebagai suatu posisi yang mana banyak kepala bisa hilir mudik di tubuh itu. Siapapun dan WI apapun bisa menjadi unit manapun.

‘Tanpa kepala’ tidak lantas berarti absennya kepala, melainkan ia harus diartikan sebagai suatu posisi yang mana banyak kepala bisa hilir mudik di tubuh itu. Siapapun dan WI apapun bisa menjadi unit manapun.

 

Platform, Organisasi dan Mesin

Sedikit refleksi filosofis organisasi. Struktur master tanpa kepala ini saya kira adalah bentuk hakiki dari apa yang secara serampangan dan asal aja kita sebut ‘platform’. Platform bisa saja memiliki nama, namun karakter dasarnya adalah suatu jejaring sirkuit: jejaring yang mengkoneksikan ide, tubuh dan kerja; dan ruang sirkuit yang dimungkinkan oleh aransemen (admin/manajerial), arsitektur dan infrastruktur. Platform ini bersifat mesinik (machinic) dalam artian ia ada untuk suatu tujuan yang adalah keberlanjutan dari upaya menggapai tujuan itu sendiri; platform tidak memiliki tujuan akhir yang ideal dan abstrak. Yang belakangan ini selalu adalah milik manusia-manusia yang ada di dalamnya. Persis seperti seterika yang tujuan objektifnya bukan supaya pakaian kita halus, melainkan adalah mempertahankan performanya untuk bisa terus memanaskan lempeng besinya secara proporsional.

Artian lain dari mesinik, terkait platform, adalah bahwa ia tersusun atas komponen-komponen spesifik yang memiliki logika dan mekanikanya sendiri dalam beroperasi. Logika dan mekanika ini obyektif sifatnya; tidak peduli di tangan Kivlan Zen, Fahira Idris ataupun Pramoedya Ananta Toer, sebuah seterika tetap hanya akan memproduksi panas kalau kabelnya dicolok ke steker. Mengapresiasi aspek mesinik dari suatu organisasi, maka konsekuensinya seluruh anggota harus mampu mengonfrontasi setan-setan di hal-hal detil (‘cause devil is in the detail). Soalnya, layaknya mesin, tidak akan kita mampu menggunakan apabila kita tidak memahami fungsi-fungsi operasional dari setiap fiturnya. Tidak hanya itu, akan mustahil juga bagi kita untuk memprogram atau memformatnya apabila kita memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait prinsip-prinsip umum beroperasinya mesin itu.

Hal-hal detil ini, sayangnya, teramat minuskul, menjemukan dan sampai titik tertentu monoton – dan tambahkan ‘tidak populer’ yang membuat banyak orang besar organisasi (pentolan, pemimpin, pemikir, bos, dst.) ogah untuk menyentuh dan cenderung mempercayakan (baca: lempar tanggung jawab) ke orang lain (dan bisa ditebak, jender orang lain ini biasanya …….). Susah tentu membayangkan ketua konfederasi pekerja besar harus tahu cara me-maintain pencatatan double book-keeping di tabel-tabel Excel, atau seorang pimpinan besar partai tahu teknik-teknik pengarsipan dan penomoran surat, atau dewa pengawas koperasi untuk meng-update laman website. Supaya “dapur” organisasi mengepul, tidak hanya butuh uang untuk membeli bahan makanan, namun membutuhkan keterampilan teknis khusus agar proses pengolahan bahan makanan tersebut menghasikan kepulan asap sedap, dan bukan asap kebakaran.

cmcc-ci-femaleautomechanics

Foto Collin McConnell, Toronto Star; diambil dari thestar.com

Memang pekerjaan dapur organisasi ini cenderung trivial dan tidak-heroik, apalagi macho. Namun tanpa pekerjaan ini, sudah pasti suatu organisasi akan kacau balau. Sialnya, kerja-kerja dapuran ini sering dipandang sebelah mata dan ditakar separuh harga, yang akhirnya banyak dikerjakan setengah hati. Satu-satunya solusi pragmatis (yaitu supaya tidak ada yang perlu mengerjakan ini) yang benar-benar mengafirmasi aspek mesinik dari platform organisasi adalah mengotomasikan sebanyak mungkin kerja dapuran ini. Sehingga waktu, jiwa, dan tenaga yang tadinya terrantai di pekerjaan-pekerjaan ini, kini bisa dialihkan ke kerja-kerja lain yang berdimensi produktif sesuai visi dan rencana-rencana strategis organisasi. Namun demikian otomasi ini harus muncul sebagai semangat kolektif, dan bukan semangat egois; yaitu supaya tidak ada orang lain yang harus terpental ke dapur, dan bukan supaya menyelamatkan dirinya sendiri dari neraka kerja reproduktif dengan menunggangi slogan tekno-modernis dan kolektivitas.

Itulah mengapa agenda otomasi harus dilihat dari sudut pandang pekerja dapuran/reproduktif ini (dan bukan sekedar sudut pandang efisiensi kerja yang sangat ala-ala pengusaha yang cari untung sendiri dengan buntungin pekerjanya): yaitu di satu sisi membebaskan kita semua dari kerja rumahan, dan di sisi lain memberi kita lebih banyak waktu, jiwa dan tenaga untuk mengerjakan – heroic trigger warning (!) – kerja-kerja repolusioner untuk menggembosi rezim kerja upahan di luar organisasi. Mungkin saat ini otomasi total masih belum dimungkinkan secara kapasitas dan kapital koperasi kami. Namun demikian, prinsip-prinsip otomasi ini bisa mulai dilakukan dengan pembakuan SOP-SOP (standard operating procedures) organisasi dan digitalisasi data dan arsip koperasi.

 

Akhir kata, …

Saya, dan – berani taruhan – semua kawan-kawan saya di Purusha, belum memiliki gambaran mengenai luaran dan capaian dari eksperimentasi koperasi untuk “memenggal kepala organisasi” ini. Saya pribadi antusias bercampur penasaran akan apa yang akan terjadi kepada dan dijadikan oleh Koperasi ini. Saya juga ingin tahu sejauh mana struktur headless master ini mampu membuktikan pada dunia (#tsahh) tentang (mitos, atau okelah, hipotesis) kreativitas, otonomi, dan vitalitas manusia-pekerja. Namun satu yang pasti, apabila eksperimen ini gagal – seperti kegagalan-kegagalan sebelumnya – ia adalah suatu rencana programatik dengan capaian-capaian terukur yang bisa didiagnosis, bisa dievaluasi, dan yang paling penting bisa dipertanggung-jawabkan: secara prinsipil, secara teoritis, dan secara praksis perjuangannya. Eksperimentasi bukan persoalan asal coba; eksperimentasi adalah selalu kerja tekun, sistematis dan prosedural di satu sisi, dan di sisi lain, ia mengandung resiko pertaruhan yang tinggi. [HYP]