Kapitalisme dalam Kerlingan Negara-Berdaulat:
Ulasan historis singkat dari era Imperium Romawi Agung sampai era Neoliberal[1]
Oleh:
Hizkia Yosie Polimpung
Karl Marx dan Friedrich Engels pernah mengatakan bahwa Negara tak lebih dari sekedar “komite untuk mengurusi seluruh urusan para borjuis.”[2] Pernyataan ini bagi saya cukup problematis. Pertanyaan-pertanyaan sederhana segera muncul: apa spesialnya negara sehingga para kapitalis ini begitu membutuhkannya? Mengapa negara, dan bukan agama dan bandit (seperti pada masa-masa Abad Kegelapan sampai Abad Pertengahan)? Jika jawabannya adalah variabel kekuasaan, maka dari mana kekuasaan itu didapat negara? Jika dari para kapitalis tersebut, mengapa tidak mereka saja yang memerintah sendiri tanpa negara semenjak mereka menguasai basis produksi dan kapital?[3] Di sinilah pentingnya untuk sejenak memutar keluar dari logika kapitalisme—yaitu logika produksi komoditas—untuk masuk kepada argumen-argumen “ekstra-ekonomi” dalam alam pikir logika kedaulatan negara.[4] Makalah ini akan berupaya mengajak pembaca untuk flashback historis melihat evolusi hubungan negara dan relasi sosial produksi, melalui perspektif negara. Dengan kata lain, kita akan melihat seperti apakah kapitalisme nampak dalam kerlingan negara berdaulat modern.
Logika Kedaulatan dan Rasio Kepemerintahan
Untuk memahami kapitalisme dari logika kedaulatan, penting bagi kita untuk melihat kedaulatan sebagi suatu gagasan yang non-esensialis namun bukan anti-esensialis. Hal ini demikian karena ia dapat kompatibel dengan gagasan/idiologi/agama apa saja, maupun presiden/raja siapa saja alih-alih memprivilesekan suatu esensi tertentu.[5] Sehingga memahami kedaulatan sebaiknya tidak secara esensialis (apa ideologi/agama yang diusung) maupun nominalis (rezim siapa yang memimpin, apa kelaminnya, dst.). Lalu apa yang dipertahankan oleh kedaulatan? Tidak lain adalah kesinambungan eksistensinya sendiri; esensi idiologis dan orang-orang (presiden, pemerintah) di dalamnya berfungsi tidak lebih dari, meminjam Biolog Evolusoner Richard Dawkins, ‘kendaraan’ bagi kedaulatan untuk melestarikan dirinya sendiri. Saat kendaraan tersebut telah usang, ia akan meloncat ke idiologi lain, ke orang lain. Meminjam iklan Teh Sosro: apapun idiologinya, tujuannya tetap kedaulatan.[6]
Mungkin esensi dan bentuk, bagi kedaulatan, nampaknya sekunder. Tapi bukan demikian adanya. Esensi dan bentuk adalah kebutuhan primer bagi kedaulatan. Kedaulatan harus memanifestasi dalam retorik dan aparatus negara jika tidak ingin punah. Lalu spesifiknya, apa fungsi esensi ini bagi kedaulatan? Sederhana saja: fungsi pembenaran dan legitimasi, bahkan dalam artian yang sangat ekstrim, yaitu membenarkan dan melegitimasinya menjadi sesuatu yang seolah-olah lazim, normal, dianggap perlu, dan tak terelakkan. Lantas apa fungsi negara dan aparatusnya? Keduanya berfungsi sebagai garda depan penjaga sekaligus pengoperasi kedaulatan tersebut. Kedaulatan perlu justifikasi moral universal agar ia bisa beroperasi—atau lebih tepatnya dioperasikan oleh para aparatusnya dalam kehidupan sehari-hari (quotidian). Justifikasi tersebut harus universal agar ia mendapat kekuatan metafisiknya sehingga tidak dapat diganggu-gugat.[7] Akibatnya, operasi aparatus tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjadi tidak dipertanyakan lagi. Tepat di sinilah politik yang dilakukan paratur pemerintah ini tereduksi menjadi sekedar urusan birokratis-manajerial yang monoton dan kaku.
Jelas di sini, negara—apa pun bentuknya, apapun ideologinya, siapapun pelaksananya, bangsa apa pun yang menjadi masyarakat/warganya—tidak lebih dari korelat bagi beroperasinya kedaulatan. Inilah logika kedaulatan: secara aktif “mengkomodifikasi” ide-ide universal, merekrut orang-orang untuk menjadi kendaraannya bagi kesinambungan eksistensi kedaulatan itu sendiri.[8] Logika ini mengkonfirmasi temuan Foucault dari studinya tentang genealogi kepemerintahan (governmentality) abad 16 sampai 20.[9] Di situ kita dapat pertama-tama melihat pemerintah (government) sebagai sebentuk praktik kekuasaan sang berdaulat, atau dengan kata lain, sovereignty in action. Singkatnya, sedari Machiavelli sampai Foucault, sekaligus mengulang yang sudah saya sampaikan sebelumnya, hati dan pikiran sang berdaulat tidak akan pernah lepas dari dua hal yang juga masih belum berubah: 1) mempertahankan, mereplikasi, sekaligus melanggengkan kedaulatannya dan, 2) memerintah—lebih ke arah manajemen dan administrasi—(si)apapun yang berada dalam teritori kedaulatannya.
Intermezzo
Analogi paling sederhana untuk mengilustrasikan pemerintahan yang lebih bernuansa manajerial ini silakan berpaling pada video permainan The Sims. Di situ jelas saya kira bagaimana kita, sebagai pemain, mengatur seluruh aspek kehidupan aktor-aktor permainan tersebut: mulai dari jam tidur, jam makan, porsi daging-sayuran, jenis susu, waktu berkencan, waktu bercinta, lokasi rumah, lokasi wc-toilet, dst.[10] Analogi video permainan lain yang tak kalah serunya adalah game-game strategi perang seperti Warcraft: Defense of the Ancient, Command & Conquer, Rome Total War, dst. Di situ, kita bisa mengatur sebatalion (atau lebih) pasukan, memperlengkapinya dengan senjata tertentu, menaikkannya pada kendaraan perang tertentu, menempatkannya di front tertentu, bahkan mengorbankannya (secara sengaja atau tidak sengaja), dst. Dengan kata lain, dalam permainan tersebut kita meng-atur, me-menej, me-merintah. Bagi kita, aktor-aktor tersebut tak lebih dari sekedar unit-unit yang keberadaannya secara singular tidaklah siginifikan. Kita bisa juga memilih pada sisi “baik” atau “jahat.” Kita juga tidak akan pusing jika kita salah mengurus aktor-aktor tersebut. Pula tidak akan kita berkabung jika satu batalion tentara Command & Conquer kita habis dibantai oleh tentara musuh. Sebaliknya, kesatuan kumulatif dari keseluruhan aktor-aktor permainan tersebutlah yang memberikan kita kesuksesan dan kemenangan (kedaulatan?) kita dalam permainan tersebut.
Dalam rasio kepemerintahan negara-berdaulat, rakyat tidaklah lebih dari sekumpulan kategori imajiner statistikal yang harus diatur sedemikian rupa (mulai dari tingkat kematian dan kelahiran, tingkat kemiskinan dan daya belinya, taraf pendidikannya, moralitasnya, situs yang boleh diakses atau tidak, jenis video yang boleh diunduh atau tidak, bahkan, jika bisa, sampai warna celana dalamnya). Kerinduan, mimpi, aspirasi, dan harapan dari rakyat hanya dihitung sejauh ia berkontribusi positif bagi kurva kekuasaan dan kekayaan negara, di luar itu: tidak relevan. (Hal ini menjelaskan mengapa saat ada “prestasi” dari aparaturnya, pemerintah langsung menggembar-gemborkannya melalui rupa-rupa publisitas; sebaliknya, program-programnya yang tidak mencapai target diupayakan sedemikian rupa agar luput dari ekspos publisitas).
Di pemandangan negara, rakyat tampak semata-mata hanyalah seonggok tubuh yang kesehariannya harus diatur. Tujuannya tidak lain dari untuk menunjukkan bahwa dalam suatu teritori tersebut ada yang memerintah, bahwa ada yang mengatur. Adalah eksistensi dan kesinambungan negara sebagai sang berdaulat yang mengedepan di sini. Memang benar apa yang dikatakan pemikir-pemikir kedaulatan rakyat: tidak ada rakyat, maka tidak ada negara. Tapi kita harus hati-hati menanggapi ini, jika perlu secara sinis menterjemahkannya: rakyat adalah unsur penting dan terutama bagi negara karena hanya kepadanyalah kekuasaan negara bisa dipraktikkan dan ditegakkan. Tanpa ada relasi rakyat-pemerintah—yang telah dan sedang diikat dengan rupa-rupa retorika nasionalisme dan heroisme-patriotik, tidak akan ada kekuasaan berdaulat. Akibatnya, relasi inilah yang diupayakan untuk dijaga, dimenej, diatur, diabadikan, dimonumenkan, diselebrasikan, dinormalkan, supaya kedaulatan negara bisa terus lestari. Sasaran kepemerintahan dengan demikian, adalah untuk mengamati, memonitor, membentuk, mengendalikan, dan mengarahkan sikap, opini, prilaku, tindakan, pandangan, bahkan mental dan keyakinan sekelompok rakyat tersebut yang menjadi subyek pemerintahannya. Kembali menekankan, bahwa bagaimanapun juga pemerintahan ini memiliki legitimasi berbobot moral, dalam hal ia menjadi acuan universal bagi jalan pemerintahan sebagaimana dipaparkan ini. Hal inilah yang menggoda Colin Gordon untuk menyebut kepemerintahan ini sebagai “pemerintahan atas nama kebenaran.”[11]
Implikasinya panjang. Jika rakyat tidak sejahtera namun negara tersebut masih (merasa) berdaulat, maka jangan harap negara akan turun tangan mendengar aspirasi rakyatnya. Jika rakyat menderita kelaparan dan mati karenanya namun negara masih melihat itu tidak mendegenerasi otoritas berdaulatnya, maka respon negara tidak akan jauh-jauh dari seputar retorika “saya ikut prihatin.” Jika rakyat marah dan berdemonstrasi karena pemerintah dianggap gagal menyediakan fasilitas dan infrastruktur namun pemerintah masih belum melihat potensi kudeta darinya, maka ungkapan lihai dan strategis seperti “terima kasih aspirasinya, akan kami tindak-lanjuti” adalah upaya paling banter yang diberikan negara. Saya katakan lihai dan strategis maksudnya adalah karena ungkapan ini, pemerintah akan dapat menghentikan demonstrasi sekaligus mempertahankan citra ‘demokratis’ di mata rakyatnya dan dunia—dengan membiarkan demonstrasi tersebut dengan dalih klasik ‘kebebasan berpendapat di alam demokrasi’. Negara tidak akan pernah serius menangani suat masalah/kasus yang tidak berkorelasi positif bagi, lagi, kedua tujuannya: kontinuitas kedaulatan, dan legitimasinya memerintah. Singkatnya, dan izinkan saya menjadi sarkas di sini, negara sebenarnya tidak berkeberatan rakyatnya mati (sepanjang mereka tidak mati bersamaan pada waktu yang sama): negara hanya tidak suka apabila mereka dibunuh oleh negara lain.[12]
1000 Tahun Logika Kedaulatan
Sekarang saatnya memainkan argumen ini ke dalam perkembangan historis rasio kepemerintahan semenjak Imperium Agung Romawi sampai neoliberalisme hari ini. Perlu ditekankan di awal bahwa adalah mustahil menceritakan evolusi 1000 tahun logika kedaulatan ini, sehingga apa yang akan saya lakukan di bawah adalah bisa dibilang reduksi brutal akannya. Namun demikian, saya akan mengusahakan secara gamblang untuk mengulas proses estafet logika kedaulatan dari rupa-rupa ‘kendaraannya’: kitab suci – Paus & Gereja (katolik Roma) – Kaisar dan Imperium Romawi Agung – Raja dan Pangeran Eropa – Raja negara-berdaulat Modern (Westphalia) – negara-berdaulat liberal – negara intervensionis Sosial-Demokrat Keynesian – negara neoliberal.
Namun apabila di lihat dari segi manifestasinya, maka evolusi kedaulatan ini setidaknya mengalami perubahan setidaknya tiga kali: omnipotensi – teritorialisasi – manajerial. Kedaulatan omnipoten ini menggejala pada abad pertengahan, khususnya pasca-inavasi kaum barbar yang meluluh-lantakkan Imperium Romawi lama. Kedaulatan teritorial mulai muncul di masa-masa pencerahan, khususnya pada pemikiran sang Bapak Kedaulatan, Jean Bodin, dan dilegitimasi oleh perjanjian Westphalia (1648), perjanjian Utrecht (1713), di Kongres Wina (1814) ia mendapat dimensi teritorial terbatasnya, di Konvensi Jenewa (1864, 1906, 1929, 1949), ia diatur oleh Hukum Internasional. Di Konvensi Montevideo (1933), ia dibakukan sebagai kanon hukum. Kedaulatan manajerial ini muncul sebagai upgrade bagi kedaulatan teritorial. Ia muncul semenjak revolusi Inggris (yang mengorbankan Charles I di tiang gantung pada 1649) dan revolusi Perancis (yang mengorbankan Louis XVI dan keluarganya di Guillotine pada 1793).
Terakhir dari segi sumbernya: evolusi kedaulatan berganti-ganti sumber basis justifikasi morilnya sedikitnya juga tiga kali: Tuhan – doktrin dua pedang – rakyat. Tuhan sebagai sumber kedaulatan jelas menggejala pada abad-abad pertengahan awal. Doktrin dua pedang muncul saat Kaisar Romawi Agung merasa cemburu dengan kekuasaan Paus yang dijustifikasi oleh kedaulatan Tuhan, dan berniat ikut menikmatinya. Singkat cerita, dibagi-dualah kedaulatan tersebut: pedang relijius dipegang paus yang berkuasa atas kehidupan rohani, pedang sekuler dipegang kaisar yang berkuasa atas kehidupan politik duniawi. Alhasil, melalui doktrin ini, kaisar dan raja “kecipratan” divine right. Kedaulatan rakyat muncul saat revolusi Inggris dan Perancis, dan berlanjut sampai setidaknya hari ini dalam bentuk ‘demokrasi’. Varian tentu saja ada, namun tetap saja, rakyat—terlepas apapun sebutnya: ‘umat’, ‘kamerad’, ‘buruh’, ‘we, the people of freedom’, ‘wong cilik’ sampai sesederhana ‘kita’—adalah justifikasi bagi pemerintah manapun untuk berkuasa.
Gereja, Imperium Romawi Agung dan Kedaulatan Ilahi
Kedaulatan pertama berasal dari citraan tentang tuhan yang omnipotensi. Citraan ini, yaitu kedaulatan ilahi tercetus St. Augustine di abad 4-5 SM. Gambaran inilah yang selang 6 abad kemudian dipakai oleh Gereja sebagai modalitas politik untuk mengkonsolidasi Eropa pasca-Invasi kaum barbar. Gereja merekrut Charlemagne dari Kerajaan Merovingian sebagai Kaisar Romawi Agung untuk membantunya mengkonsolidasi suatu Republik Kristiana (respublica christiana). Kedaulatan ilahi yang direpresentasikan oleh Gereja, membuat Paus seolah-olah menjadi Tuhan di bumi yang serba disembah dan ditakuti. Namun demikian, hal ini tidak bertahan lama sampai Kaisar Romawi Agung silih berganti berupaya menantang dan “meminta bagian” dari kekuasaan tersebut. Berbagai krisis, untuk mempersingkat cerita, akhirnya membuat Paus rela membagi kekuasaannya. Kompromi ini akhirnya melahirkan doktrin dua pedang yang sudah saya singgung di atas: pedang ilahi relijius dipegang oleh Paus untuk mengatur kehidupan rohaniah, sementara pedang sekuler dipegang Kaisar untuk mengatur kehidupan politik duniawi. Sekalipun sekuler, namun jangan terkecoh, kekuasaan Kaisar juga bermuatan daya ilahi. Kaisar dan Raja merasa bahwa ia ditunjuk oleh Tuhan untuk memerintah umat manusia, bahkan untuk melakukan penundukan daerah-daerah lain yang “kafir.” Inilah kedaulatan yang dilihat sebagai sumber kekuasaan yang serba tak terbatas. Omnipotensi ini nantinya akan membutakan mata para kaisar ini terhadap segala keterbatasannya: kemampuan administrasi wilayah, kemampuan memperoleh dukungan rakyat, dst.
Lahirnya Negara Modern dan Kedaulatan Westphalia
Problem omnipotensi kedaulatan ini mulai mengerucut pada operasionalisasinya. Kulminasinya ada pada karya-karya Jean Bodin yang menekankan bahwa kedaulatan sekuler (bukan Paus, maksudnya) negara harus terdiri dari dua hal: teritorial terbatas dan otonomi negara dari intervensi entitas lainnya. Di sini kedaulatan menjelma dari sekedar angan-angan pervert raja-raja akan kekuasaan tak terbatas, menjadi kedaulatan yang membumi. Kedaulatan akhirnya diberikan perangkat operasionalnya sehari-hari. Inilah yang dituju oleh Perdamaian Westphalia 1648 yang mendamaikan Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Perdamaian ini berhasil merebut monopoli kedaulatan dari tangan Gereja dan Kaisar Agung ke tangan raja-raja Eropa. Era imperium, baik gereja maupun Romawi, disudahi di meja perjanjian Westphalia.
Pembahasan singkat tentang Westphalia ini saya kira cukup untuk menekankan aspek penting yang menjadi implikasi perjanjian ini, yaitu bahwa negara akan selalu berupa negara-negara. Kedaulatan Westphalia menekankan relasi antar negara: diplomasi modern, perwakilan tetap, dan pengakuan kedaulatan merupakan beberapa korelatnya. Sehingga adalah mustahil suatu negara berdaulat-modern eksis sendirian. Kedaulatannya justru terjustifikasi dengan keberadaan entitas-entitas berdaulat lainnya. Dengan demikian akan lebih aman melihat negara sebagai sistem-negara; dan kedaulatan sebagai sistem-kedaulatan. Seluruh bentuk hubungan inter-nasional akhirnya didirikan berdasarkan basis ini. Tiga bentuk dasar hubungan internasional ini adalah tritunggal perang – diplomasi – dagang.
Negara dan Kedaulatan Liberal
Colbert : “What can I do for you”
Gendre : “What can you do for us? Leave us alone (Laissez-nous faire)!”[13]
Pada Abad pertengahan, melewati perjanjian Westphalia 1648, sampai di pintu gerbang Revolusi Inggris dan Perancis, basis universalitas kedaulatan memang sempat diisi oleh keilahian relijius (Katolik dan Kristen). Namun setelah Revolusi, universalitas ini sudah tidak valid apalagi dengan kenyataan merebaknya demokrasi modern.[14] Dari perspektif rasionalitas kepemerintahan, desakan revolusioner libertarianisme dan demokratisme merupakan suatu tantangan bagi model kepemerintahan saat itu, yaitu monarki. Bagi kepemerintahan ini problemnya kemudian adalah bagaimana tetap menjalankan pemerintahan, dengan demikian menegakkan kedaulatan, sembari mengakomodasi tuntutan demokrasi dan liberalisme. Atau dengan kalimat berbeda, bagaimana mengatur dan memerintah rakyat yang telah terkontaminasi ide-ide liberal dan demokrasi tanpa melanggar aspirasi-aspirasinya. Charles I dan Louis XVI, keduanya merupakan kontainer kedaulatan versi relijius, telah masing-masing digantung dan dipenggal, sehingga kedaulatan pun harus melompat ke esensi dan bentuk lainnya. Saat itulah ia mengalihkan pandangan ke demokrasi, kapitalisme dan liberalisme. Sintesis kesemuanya dengan kedaulatan melahirkan suatu evolusi mutakhir (setidaknya untuk saat itu) yang disebut ‘kedaulatan liberal’ dengan ‘seni pemerintahan liberal’-nya.[15]
Memahami seni pemerintahan liberal ini, penting kiranya untuk mengambil jalan memutar sejenak untuk melihat lebih detil bagaimana liberalisme masuk dalam kancah politik di Eropa. Liberalisme merupakan respon memuncaknya absolutisme monarki. Jadi sekali lagi, ia tidak hadir begitu saja dari dalam; ia dipicu. Seuniversal dan setransenden apapun gagasan yang (dikira) dikandung liberalisme, tetap saja ia butuh prakondisi imanen untuk memicunya. Berikutnya, respon ini dilakukannya dengan berusaha mengenakan batasan bagi pemerintahan yang ada. Hal ini demikian karena bagi liberal, pemerintah telah selalu “memerintah terlalu banyak” (govern too much). Pemerintahan yang eksesif ini dikuatirkan (bahkan telah disesalkan) berdampak negatif pada kebebasan individu rakyat untuk mengaktualisasikan diri mereka. Pemerintahan yang eksesif yang membelenggu aktualisasi individu ini misalnya pada sistem wajib militer, penyeragaman agraria dan industri, dan pajak estate yang berlebihan.
Singkat cerita, seri revolusi di Perancis mampu menumbangkan penguasa/pemerintah saat itu, dan menggantinya dengan orang-orang baru yang liberal dan demokratis. Namun sekali lagi, “kutukan” teologi politik belum tersentuh. Logika kepemerintahan tetap akan “menghantui” siapapun yang menduduki tahta pemerintahan, apapun ideologinya, berapapun banyaknya. Sekali lagi, dalam pengaruh sihir teologi politik, pemerintah bisa saja dikudeta, namun rasionalitas kepemerintahan tidak akan bisa tersentuh. Sintesis antara rasionalitas kepemerintahan dan liberalisme kemudian menghasilkan yang barusan disebut seni kepemerintahan liberal. Kepemerintahan liberal ini tentu tidak ingin mengulangi kepemerintahan monarki yang eksesif. Namun, inilah tantangannya: bagaimana memerintah tidak secara eksesif, namun tetap efektif?
Investigasi Foucault membawanya pada kesimpulan: natur (nature). Adalah natur yang menjadi kata kunci bagi kepemerintahan liberal. Yang dimaksud natur bukanlah suatu area tertentu yang bebas dari jamahan manusia; ia adalah sifat alamiah dari masyarakat itu sendiri: yaitu sebagai individu rasional yang selalu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Natur alamiah ini membuat para ekonomi seperti Adam Smith menyebut manusia sebagai, tidak hanya homo sapiens, namun juga homo economicus. Homo economicus adalah manusia alami, manusia rasional, … manusia yang “dibutuhkan” kepemerintahan liberal. Jelas dilihat bahwa natur, oleh libertarianisme, dipandang dalam koridor ekonomi. Natur inilah yang menjadi sumber kebenaran (site of truth) bagi kepemerintahan liberal. Kembali mempertimbangkan seloroh Colin Gordon, sekali lagi, kebenaran natur inilah yang di-atas-namakan oleh kepemerintahan liberal, yang dengan demikian, pada gilirannya, menjustifikasi secara moril keberadaannya. Sehingga jauh berkebalikan dari anggapan umum bahwa natur adalah zona yang tidak/belum tersentuh kekuasaan manusia, natur dalam kosakata libertarian adalah selalu telah berada dalam kekuasaan manusia—pemerintah liberal—bahkan, ia ada semata-mata oleh karena pemerintah liberal tersebut.
Lalu bagaimana tepatnya natur ini menyumbang bagi tegaknya pemerintahan liberal? Adalah politik ekonomi (political economy) yang digunakan pemerintah untuk menjadikan natur sebagai justifikasi pemerintahannya. Melalui politik ekonomi, pemerintah hadir sebagai administrator untuk menjaga dan mengatur natur tersebut. Obyek pemerintahan ini, sekaligus lokus manifestasi natur individu rasional ini, tak lain adalah pasar. Pasar merupakan lokus dimana mekanisme spontan setiap individu berlangsung. Dalam pasar, setiap individu mempraktikkan (exert) rasionalitas mereka. Melalui pasar, lagi-lagi, terjadi transaksi rasional antara penyuplai (produsen) dan konsumen. Mekanisme pasar yang efektif dan rasional ini—transaksi rasional dan spontanitas individu—hanya akan terjadi apabila pasar dibiarkan bebas. Bebas disini adalah bebas dari intervensi pemerintah (dalam kasus Revolusi Perancis: regulasi monarki Louis).
Tantangan terhadap rasionalitas kepemerintahan mencuat: bagaimana menjaga kebebasan pasar, melainkan tetap memungkinkan adanya kehadiran pemerintah (intervensi). Disinilah kecerdikan pemerintahan liberal muncul: pemerintah hadir dengan cara menyediakan kondisi bagi kebebasan pasar tersebut. Pengkondisian kebebasan pasar tersebut dilakukan dengan rupa-rupa regulasi yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi agar pasar tetap menjadi pasar bebas, pasar yang rasional, pasar yang didalamnya mekanisme spontan natural individu berlangsung. Perlu ditekankan dan digaris-bawahi di sini: yang dienggani oleh liberalisme adalah intervensi pemerintah, DAN BUKAN kapabilitas pemerintah untuk melakukan intervensi! Liberalisme memerlukan negara yang kuat, sedemikian kuatnya untuk menjaga kebebasan pasar dan individu, sedemikian kuatnya untuk mengancam (dalam artian legal-yuridis) siapapun yang berusaha mengkorupsi dan memanipulasi kebebasan pasar tersebut.[16] Bagi liberalisme, pasar yang sah dan legitim adalah pasar yang berada pada kondisi bebas.
Kebebasan pasar ini penting karena hanya pasar yang demikian yang mampu menghasilkan profit ganda—bagi penjual dan pembeli. Dengan kata lain, adalah suatu pengayaan bersama (mutual enrichment) yang dicoba direalisasikan oleh liberal melalui pasar bebas.[17] Di sini kekayaan orang lain di dipahami secara “rasional,” dan bukan “altruis”: orang lain penting untuk juga diperkaya karena kekayaannya merupakan faktor penting bagi kekayaan saya. Kaum liberal percaya, dengan menjaga kebebasan, mekanisme spontan pasar akan membuat para partisipannya kaya.[18] Semakin pasar tersebut ramai, maka semakin besar kekayaan yang bisa dikeruk. Inilah yang menjadi rationale bagi ekspansi pasar bebas keluar Eropa. Sampai sini bisa dipahami bahwa globalisasi pasar (yang pertama kali terjadi pada era kolonialisme) terjadi dalam rangka memperluas cakupan pasar bebas ke wilayah non-Eropa, dan menjadikannya lebih menguntungkan dan menghasilkan kekayaan bagi partisipannya mula-mula—Eropa.
Di sinilah sebenarnya gagasan ‘kepentingan nasional’ muncul untuk pertama kalinya, setidaknya dalam rasio ekonomi. Kepentingan nasional diukur dari kondisi pasar yang kondusif yang tercipta dari hasil upaya pemerintah. Atau dengan lain kata, kepentingan nasional dilihat dari ada tidaknya pasar bebas. Kata “nasional” tersebut merefleksikan sekumpulan individu yang menjadi subyek bagi setiap regulasi pemerintah, sekumpulan individu yang diantaranya terjadi proses pengayaan bersama melalui pasar. Sehingga siapapun yang mengancam mulusnya pasar bebas ini, ia menjadi ancaman bagi kepentingan nasional. Pada titik ini pula muncul konsep ‘keamanan nasional’, setidaknya untuk pertama kalinya dalam rasio ekonomi. Keamanan yang dimaksud adalah keamanan kepentingan nasional, dengan kata lain, keamanan mekanisme pasar bebas—suatu kondisi yang memungkinkan setiap warga negara melakukan aktivitas ekonomi dengan bebas. Implikasi keamanan tidak lain adalah perdamaian. Sehingga saat keamanan diartikan dalam artian ekonomis, maka perdamian pun akan bernuansa ekonomis pula. Lihat saja apa yang dimungkinkan oleh perpetual peace-nya Immanuel Kant:
“Perpetual peace is guaranteed by no less an authority than the great artist [Kunstlerin] Nature herself (natura daedala rerum). The mechanical process of nature visibly exhibits the purposive plan.”[19]
“Thus nature wisely separates the nations, although the will of each individual State, even basing its argument on international right, would gladly unite them under its own sWay by force or by cunning. On the other hand, nature also unites nations which the concept of cosmopolitan right would not have protected from violence and war, and does so by means of their mutual self-interest. For the spirit of commerce sooner or later takes hold of every people, and it cannot exist side by side with war.“[20]
Sehingga terkait kebebasan, penting untuk ditekankan bahwa libertarian menggadang-gadang kebebasan bukan demi kebebasan itu sendiri, melainkan karena kebebasan itu memberi justifikasi bagi pemerintahan liberal untuk memerintah. Liberalisme tidak berkepentingan dengan kebebasan individu masyarakat, melainkan ia berkepentingan dengan penyediaan kebebasan tersebut. Dengan kata lain, kebebasan adalah korelat dari kepemerintahan liberal. Kutipan dari Foucault sekiranya memperjelas ini.
If I employ the world “liberal,” it is first of all because this governmental practice in the process of establishing itself is not satisfied with respecting this or that freedom, with guaranteeing this or that freedom. More profoundly, it is a consumer of freedom. It is a consumer of freedom inasmuch as it can only function insofar as a number of freedoms actually exist: freedom of the market, freedom to buy and sell, the free exercise of property rights, freedom of discussion, possible freedom of expression, and so on. The new governmental reason needs freedom therefore, the new art of government consumes freedom. It consumes freedom, which means that it must produce it. It must produce it, it must organize it. The new art of government therefore appears as the management of freedom, not in the sense of the imperative: “be free,” with the immediate contradiction that this imperative may contain. The formula of liberalism is not “be free.” Liberalism formulates simply the following: I am going to produce what you need to be free. I am going to see to it that you are free to be free.[21]
Sekedar merangkum, bagi kedaulatan liberal: demokrasi berfungsi sebagai pembenaran kekuasaan; Tuhan yang tadinya digadang-gadang, kini digantikan oleh sekelompok kategori imajiner bernama ‘rakyat’; jargon yang kita sangat kenal cukup menjelaskan: vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Frasa ini sebaiknya diseriusi dan diartikan secara literer. Saat rakyat—sebagai sekumpulan/kategori rujukan dan bukan individu per individu—menjadi pembenaran “ilahi,” maka kedaulatan harus diarahkan untuk memenuhi kesejahteraan dan keamanan rakyatnya.[22] Tapi problemnya, bagaimana pemerintah (yang kebetulan mendapat giliran memegang kedaulatan) dapat mengetahui bahwa rakyatnya telah sejahtera dan aman atau tidak? Di sinilah kapitalisme masuk dan berperan. Sistem kapitalisme menjanjikan suatu, meminjam diksi Adam Smith, pengayaan bersama (mutual enrichment) melalui keuntungan ganda (dual profit) dalam perdagangan anatara penjual-pembeli. Sehingga logisnya, apabila kapitalisme berjalan lancar, maka seluruh rakyat akan sejahtera, bahkan kaya. Syaratnya cuma satu: yaitu pasar, tempat berlangsungnya perdagangan, harus berada pada kondisi bebas. Di sini doktrin ekonomi-politik liberalisme laissez-faire lahir: pemerintah hadir dengan menyediakan kondisi bagi kebebasan pasar tersebut melalui rupa-rupa regulasi (dan de-regulasi) dan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pasar; intervensi negara mewujud dalam kebijakan non-intervensionis. Pada level ini, negara mungkin akan terlihat tunduk pada mekanisme pasar. Namun hati-hati, “ketertundukan” negara di hadapan kelas kapitalis sebenarnya sudah dihitung dalam kalkulasi kedaulatan negara.
Jadi saya kira cukup jelas di sini, bahwa keberpihakan negara pada kelas dominan (kapitalis-borjuasi), sampai-sampai seperti yang Marx dan Engels sebutkan yaitu sebagai “komite untuk mengurusi seluruh urusan para borjuis,” bukanlah sesuatu yang sifatnya niscaya. Keberpihakan ini merupakan suatu pilihan politis yang secara sadar diambil pemerintah. Keberpihakan ini masuk dalam penalaran logis kedaulatannya; ia dipakai untuk melanggengkan eksistensi kedaulatannya.
Intervensionisme Negara dan Ordoliberalisme Model Jerman
Pada abad ke-20, tepatnya pasca-NAZI dan perang dunia, politik ekonomi liberalisme mulai bermutasi ke arah neoliberal, sekalipun belum seperti neoliberal yang saat ini sedang terjadi. Adalah ordoliberalisme Jerman yang menjadi cikal-bakal neoliberalisme ini. Disebut ordo-liberalisme karena para pemikir yang membidani lahirnya varian liberalisme ini mempublikasikan ide-idenya melalui jurnal Ordo (diluncurkan pada 1936), yang nantinya menjadi terkenal sebagai Mazhab Freiburg di bidang ekonomi politik. Ordoliberalisme memandang bahwa apabila negara hanya menjadi polisi untuk mengatur dan menyediakan “iklim bisnis yang baik” bagi kapitalisme, maka ia akan secara tidak langsung membiarkan mereka-mereka yang tidak mendapatkan kue ekonomi. Mereka-mereka ini yang nantinya akan menjadi sumber keresahan sosial, kemiskinan dan sebagaimana yang dialami Jerman, menggiring mereka ke NAZI. (NB: Hitler muncul sebagai representasi keresahan rakyat Jerman terhadap krisis ekonomi pasca malaise ekonomi 1930 dan Perang Dunia I).
Kembali menggunakan nalar logika kedaulatan, apabila orang-orang yang tidak kebagian kue ekonomi ini terus dibiarkan, konsekuensi ekstrim yang akan di alami pemerintah berdaulat Jerman adalah membawanya kembali kepada perang. Dalam perang, kemungkinan sustainabilitas pemerintah menjadi tidak menentu. Kedaulatan akan berada pada posisi di ujung tanduk. Dari asumsi-asumsi inilah menjadi logis bahwa pemerintah harus aktif “membela” mereka-mereka yang tidak kebagian kue ekonomi untuk bisa tetap sejahtera … dan memang inilah yang disarankan (dalam rupa klaim akademik) oleh para ordoliberalis: intervensi negara. Program-program ini dioperasionalkan ke dalam setidaknya tiga hal: pertama, prinsip manajemen keuangan pemerintah yang diarahkan untuk menjamin pekerjaan rakyat (full employment). Prinsip ini tentu dihitung dalam kalkulasi ekonomi, terutama yang dikemukakan oleh John Maynard Keynes. Apabila rakyat bekerja, maka mereka mampu membeli, akhirnya perekonomian jalan. Kedua, perencanaan ekonomi yang mencakup perencanaan perimbangan neraca perdagangan negara dan perhitungan statistikal demografis. Ketiga, mekanisme welfaris untuk melindungi rakyat dari kemiskinan dan resiko-resiko ekonomi. Kebijakan ini di kemudian hari dikenal dengan nama-nama seperti jaringan pengaman sosial (social security net).
Apropriasi ordoliberalisme ini oleh pemerintah pada gilirannya menunjukkan perubahan dalam memandang kedaulatan: tidak lagi sementah ada tidaknya perdagangan bebas, melainkan dari ada tidaknya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
“In fact, in [..] Germany, the economy, economic development and economic growth, produces sovereignty; it produces political sovereignty through the institution and institutional game that, precisely, makes this economy work. The economy produces legitimacy for the state that is its guarantor. In other words, the economy creates public law, […] In contemporary Germany there is a circuit going constantlyfrom the economic institution to the state; and if there is an inverse circuit going from the state to the economic institution, it should not be forgotten that the element that comes first in this kind of siphon is the economic institution. […] it produces a permanent consensus of all those who may appear as agents within these economic processes, as investors, workers, employers,and trade unions. All these economic partners produce a consensus, which is a political consensus, inasmuch as they accept this economic game of freedom.”[23]
Inilah yang mampu menjelaskan kemunculan ekonomi pasar sosial (social market economy) yang mulai merambah dimensi-dimensi non-ekonomis: pendidikan, kultur, dst. Yang dituju dari kebijakan ini adalah tatanan sosial yang menjamin kesejahteraan masyarakat dalam konteks kapitalisme. Inilah mengapa negara dalam preskripsi ordoliberalis adalah negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan adalah negara yang bertugas menjaga mekanisme pasar agar tetap kompetitif, dalam artian mampu menginklusikan sebanyak mungkin masyarakat untuk berpartisipasi dan meminimalisir monopoli. Bagi mereka yang tidak mampu akan diberi subsidi, dan bagi mereka yang mampu, akan dikenakan pajak yang tinggi. Kebijakan-kebijakan sosial akhirnya diarahkan untuk mengantisipasi kebijakan-kebijakan ekonomi.
Mencoba menarik implikasi dari rasio kepemerintahan ordoliberal, maka tampak bahwa subyek atau homo economicus dalam ordoliberal bukanlah lagi subyek yang terlibat dalam proses pertukaran perdagangan, ia bukan pula seorang konsumeris. Homo economicus dalam imajinasi ordoliberalis adalah para produsen. Subyek didorong untuk mampu berproduksi entah sebagai pedagang asongan, home industry, perkebunan kecil, kerajinan, atau apa saja sepanjang ia mampu berproduksi dan berpartisipasi pada ekonomi nasional. Kebijakan kredit-kredit usaha kecil-menengah dengan demikian harus diletakkan kemunculannya pada konteks ini.
Namun demikian segera tampak paradoks. Di satu sisi tradisi ekonomi politik liberal berupaya mengenakan batas kepada kekuasaan negara, membagi-baginya (cf. trias politika), meletakkannya ke berbagai kontrol, tapi pada ordoliberal, seolah-olah kekuasaan negara dikembalikan ke tahtanya untuk mengatur segala sesuatunya. Kapitalisme, sebagai suatu sistem yang menekankan kebebasan, tanpa intervensi, akan segera berbenturan dengan kepemerintahan ordoliberal ini. Krisis ordoliberalisme/welfarisme ini mulai bermunculan pada tahun 1960-an.
Intermezzo
Cukup menarik untuk melihat hal lain di sekitar krisis Ordoliberalisme-Welfarisme dan kemunculan Neoliberalisme Amerika ini, terutama dengan melihat apa yang terjadi di “pabrik produksi” kapitalisme. Di sekitar 1960an-1970an akhir kita melihat di satu sisi krisis welfare capitalism yang salah satu ikonnya ada Kapitalisme Fordis dan sisi lain maraknya keresahan sosial di Eropa. Saat itu buruh yang berangsur meningkat kesejahteraannya, dengan diprovokasi kalangan aktivis-akademik yang juga berangsur meningkat, mulai sadar akan peran vitalnya dalam proses produksi kapitalisme. Kesadaran ini membuat para buruh memperkuat konsolidasi di antara mereka dengan membentuk rupa-rupa serikat buruh dan aliansi pekerja(-mahasiswa) untuk kemudian menggugat eksploitasi para kapitalis yang mempekerjakan mereka. Alhasil di sana-sini terjadi protes, demonstrasi, dan pemogokan (tidak sedikit pula pengrusakan). Tepat saat inilah kapitalisme meminta pertolongan negara untuk mengeluarkannya dari krisis. Logika kedaulatan kembali bekerja, apabila krisis ini tidak kunjung berakhir, maka ekonomi negara akan kolaps, keresahan akan merembet sampai menjadi perang sipil, dan status quo kedaulatan menjadi taruhannya. Maka terjadilah yang terkenal disebut sebagai—dalam berbagai sebutannya—“the historic compromise,” yaitu saat pemerintah, apapun ideologinya—kiri, tengah, kanan—di Eropa berpihak pada kapitalis dan berbalik mengopresi demonstrasi buruh-mahasiswa. Alhasil singkat cerita serikat buruh dibubarkan di mana-mana, organisasi mahasiswa banyak yang dilarang, eksponen-eksponen pergerakan ditangkap (jika bukan diculik atau dibunuh). Di sisi kebijakan pun segera dilakukan “penyesuaian”: berbagai kebijakan seperti buruh kontrak, outsource, pemudahan relokasi industri, fleksibilasi dan spesialisasi pekerjaan bermunculan. Globalisasi ekonomi pun menjadi hal yang tak terelakkan lagi demi memfasilitasi ini semua: relokasi industri, investasi asing, perpindahan buruh-buruh murah dari Asia-Afrika, dst.. Hal ini keseluruhannya ditujukan untuk menaklukkan, menjinakkan dan akhirnya menunudukkan para buruh kembali ke kekuasaan kapitalis. Negara, dengan kedaulatannya, berperan penting dalam krisis ini untuk mengembalikan kekuasaan kelas dominan.
Inilah neoliberalisme.
Negara Neoliberal, Mazhab Chicago dan homo economicus
Apabila diamati lebih seksama, maka akan nampak suatu paradoks di sini: untuk menjaga kebebasan pasar, maka pemerintah harus melakukan pembatasan-pembatasan berupa regulasi, legislasi dan peraturan. Politik keamanan dilakukan dengan menciptakan hukum-hukum yang interventif. Aparatus pemerintah disebar sedemikian rupa sampai mengepung masyarakat. Sampai titik tertentu, paradoks ini berakibat pada kembalinya opresi ala monarki abad pertengahan ke kehidupan modern, hanya saja kali ini mengambil rupa rezim-rezim Sosialis Terpimpin, bahkan Fasisme/Nazisme. Inilah krisis rasionalitas kepemerintahan liberal: keinginannya untuk menjaga kebebasan (pasar), justru berakibat pada pembatasan kebebasan itu sendiri.[24] Jawaban terhadap tantangan krisis inilah yang membuat liberalisme berevolusi menjadi neoliberalisme.
Munculnya neoliberalisme setidaknya ditandai dengan manuver dari empat figur pada tahun 1978-80: 1) Kebijakan kapitalisasi Cina oleh Deng Xiao Ping pada 1978; 2) Tangan besi Margaret Thatcher dalam menekan serikat buruh pada Mei 10979; 3) kebijakan kurs mengambang Paul Volcker, Presiden Bank Sentral AS (The FED), pada Juli 1979, dan 4) dukungan presiden AS Ronald Reagan terhadap kebijakan Volcker ditambah “racikan” kebijakannya untuk mengekang serikat buruh, menderegulasi industri, dan yang paling terkenal, menabuh gong bagi era kapitalisme finansial. Setidaknya keempat preseden ini menjadi sumbu bagi gelombang neoliberalisasi di belahan dunia lainnya, yang tentunya bukan menjadi kompetensi studi ini untuk memaparkan.[25]
Ciri khas neoliberalisme, terutama dalam varian Mazhab Chicago (seperti Milton Firedman, Gary Becker dan Theodor Schultz) apabila diabstraksikan dari fenomena-fenomena neoliberalisasi pada tahun-tahun tersebut (sampai hari ini) tampak pada gesturnya dalam “men-demokratisasi-kan” logika ekonomi kapitalisme. Dengan demokratisasi ini saya memaksudkan suatu upaya untuk menyebarluaskan logika ekonomi ke seluruh lapisan/elemen masyarakat, dari yang tadinya hanya terpusat pada para kapitalis, pemerintah dan pimpinan-pimpinan perusahaan. Tidak hanya itu, neoliberalisme berupaya memperluas cakupan logika ekonomi kapitalis ke domain-domain yang tadinya bukan ekonomi: pendidikan, kesehatan, seni, kebudayaan, hiburan, dan yang menjadi sorotan studi ini, politik.
Gestur neoliberalisasi ini tidak seharusnya dilihat dalam kaitannya dengan kebijakan dan (de)regulasi pemerintahan semata. Jauh lebih intim, gestur ini mencapai pada apa yang disebut Foucault sebagai produksi subyek neoliberal: homo economicus. Produksi subyek neoliberal ini dilakukan sedemikian rupa untuk men-convert masyarakatnya menjadi masyarakat yang dengan sendirinya akan menjaga rasionalitas dan kebebasan pasar. Hal ini akan “meringankan” tugas pemerintah dalam menjaga distorsi dan manipulasi mekanisme pasar. Hal ini demikian karena homo economicus adalah subyek yang bertindak rasional, dan setiap upayanya ditujukan untuk menjaga sistem yang darinya ia memperoleh kenyamanan ekonomis. Dengan kata lain, dengan neoliberalisasi, libertarian berusaha menyebar-luaskan rasa kepemilikan sistem (ekonomi kapitalis) kepada seluruh elemen masyarakat. Hal ini dilakukan dengan selalu menyuntikkan jargon-jargon yang mengesankan bahwa sistem inilah satu-satunya jalan untuk mencapai kemakmuran. Tidak kebetulan pula salah satu jargon Thatcher adalah TINA—there is no alternative.
Upaya untuk memerintah (govern) yang tadinya hanya berdimensi legal-institusional, kini bertranformasi dengan mulai merambah rana-ranah mentali.[26] Apabila sebelumnya pemerintah memerintah dengan cara mengatur regulasi, aturan dan institusi, kini bertambah yang diaturnya, yaitu “jalan hidup” masyarakatnya. Pemerintah terus menyampaikan himbauan, iklan layanan masyarakat, petuah dan nasihat kepada masyarakatnya yang secara tidak langsung, mengarahkan masyarakatnya untuk menjawab tantangan sistem—ketimbang mempertanyakannya. Proliferasi buku-buku motivasi, beserta sekumpulan organisasi dan nabi-nabi motivator bermunculan untuk ikut-ikutan meneguhkan arah “jalan hidup” masyarakat. Dan yang terpenting: semua ini berjalan dengan spontan! Titik inilah yang dituju oleh kepemerintahan neoliberal saat pengaturan pemerintah telah menjadi swa-pengaturan (yang berkedok swa-bantu, self-help) masyarakat itu sendiri. Tujuannya tidak lain adalah menciptakan subyek-subyek yang dapat menjaga kelanggengan sistem tersebut: para homo economicus. Atau dengan kata lain, kepemerintahan neoliberal mengarahkan para pelaksananya untuk melakukan intervensi di taraf lingkungan, sedemikian rupa sehingga lingkungan ini yang mengkondisikan langgengnya kapitalisme. Melalui neoliberalisme inilah kita saksikan pergeseran rasio kepemerintahan (governmentality) menjadi rasio kelingkunganan (environmentality), yaitu pemerintahan yang memodifikasi lingkungan: tidak hanya politik, melainkan sosial, kultural, bahkan geografis (tata kota misalkan).
Hal menarik untuk diperhatikan di sini adalah posisi subyek, atau homo economicus, yang kembali bergeser. Yang sebelumnya pada kepemerintahan liberal ia hanyalah subyek pertukaran dagang, lalu pada ordoliberal ia adalah subyek produksi, maka pada neoliberal Amerika ini, homo economicus menjadi subyek investasi dan subyek enterpreneurial. Kehidupan subyek itu sendiri yang telah terneoliberalisasi menjadi tereduksi pada aspek-aspek ekonomi: melihat sekolah, pertemanan, pacaran, istirahat, rekreasi dan hampir segala sesuatunya dalam terma ‘investasi’. Subyek homo economicus yang demikianlah yang menjadi penjaga-penjaga sistem kapitalisme itu sendiri, tanpa perlu campur tangan negara. Dengan melihat dirinya sebagai ‘human capital’, sebagaimana salah satu teori Gary Becker, subyek akan menyesuaikan dan mendisiplinkan dirinya sedemikian rupa untuk berkonformasi dengan sistem yang ada, yaitu kapitalisme.[27]
Penutup: Relasi Negara-Berdaulat — Kapitalisme
Dari uraian singkat dan kilat ini saya kira bisa terlihat bahwa relasi antara negara-berdaulat dengan kapitalisme tidak pernah stabil: keduanya saling membutuhkan, namun sekaligus saling menafikan. Dialektika di antara keduanya pun tidak menentu: di satu saat negara leading, di saat lain negara mundur dan kapitalisme berkuasa. Apapun hubungan di antara keduanya, satu hal yang pasti, tatanan dunia berganti-ganti wajah mengikuti kelindan di antara keduanya. Pelajaran penting yang saya kira penting dalam menganalisis kapitalisme dalam kaitannya dengan peran negara adalah menyadari bahwa keduanya memiliki logikanya masing-masing, dan bahwa kedua logika tersebut tidaklah kompatibel satu sama lain.
[1] Makalah untuk disajikan pada Workshop “Kapitalisme Global I,” PACIVIS Center for Global Civil Society Studies, Depok, 25 Okt – 8 nov 2011. Makalah masih berupa draft. Untuk sitasi, kritik dan komentar silakan layangkan ke yosieprodigy@live.com.
[2] “[T]he modern State is but a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie.” Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, with Introduction by David Harvey (London: Pluto Press), hal. 36.
[3] Sepanjang studi saya tentang kedaulatan dan kenegaraan, pertanyaan-pertanyaan inilah yang tidak tersentuh oleh para Marxis semenjak Marx—itupun jika menganggap klaim Marx sendiri bahwa ia bukanlah Marxis adalah guyonan, Vladimir Lenin, Antonio Gramsci, Louis Althusser, Ralph Miliband, Nicos Poulantzas, Immanuel Wallerstein, Bob Jessop, Samir Amin, Justin Rosenberg, David Harvey, Antonio Negri, Michael Hardt sampai Slavoj Zizek. Coba saja cari jawaban ini juga pada ulasan teori negara Marxian dalam tulisan Anto Sangaji, “Manifesto Komunis dan Teori Negara,” IndoPROGRESS (Agustus 2011) (via http://tinyurl.com/3mf2nyn). Pengecualian ada pada, sejauh yang saya temukan, Ellen Meiksins Wood, The Pristine Culture of Capitalism: A Historical Essay on Old Regimes and Modern States (London: Verso, 1991), dan Hannes Lacher, Beyond Globalization: Capitalism, Territoriality and the International Relations of Modernity (NY: Routledge, 2006). Namun demikian, keduanya masih tetap gagal memahami negara berdaulat in its own term.
[4] Problem ini sebenarnya telah disadari oleh Lenin, lalu Mao sampai Althusser dan Poulantzas melalui apa yang mereka sebut sebagai ‘otonomi relatif’ (secara filosofis, supra-struktur terhadap basis-struktur; secara ekonomi politis, negara terhadap relasi sosial produksi). Namun menurut hemat penulis, keempatnya masih belum mampu menyelesaikan problem ini. Perkembangan mutakhir perdebatan ini ada pada Michael Hardt & Antonio Negri, Commonwealth (Cambridge, Mass.: Belknapp Press) bab 6.3, terutama diskusi tentang ‘political diagonal’. Lihat juga uraian cemerlang Bruno Bosteels, “Post-Maoism: Badiou and Politics,” positions, 13, 3 (2005). Sekalipun mampu memberikan landasan onotologis filosofis bagi otonomi relatif ini, sayangnya uraian kongkrit historis, terutama tentang negara berdaulat itu sendiri, masih absen.
[5] Saya tidak memiliki cukup ruang di sini untuk mengelaborasi klaim ini, semenjak tulisan ini dimaksudkan hanya untuk mengklarifikasi kritik. Namun demikian, saya mengelaborasinya dengan konsep ‘hantu kedaulatan’ dalam Hizkia Yosie Polimpung, Republikanisme, Hantu Kedaulatan dan Primasi Perlawanan Demokratis, makalah disajikan pada forum “Republikanisme sebagai Paradigma Pikir Kewargaan yang baik” dan bedah buku Republikanisme dan Keindonesiaan karya Robertus Robet, Citizens Institute, Universitas Negeri Jakarta, 16 Maret 2011. Dapat diakses di http://tinyurl.com/6dondd5.
[6] Di sini terlihat paradoks dalam kedaulatan: di tingkat retorik-idiologis dan penampakan (aparatus, konstitusi, dst.) ia adalah non-esensialis, namun di tingkat lainnya ia adalah ultra-esensialis.
[7] Elaborasi tentang kekuatan (force) metafisik ini bisa dilihat di Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, terj. G. Schwab (Cambridge: The MIT Press, 1985); Jacques Derrida, Rogue: Two Essays on Reason, terj. P.-A. Brault dan M. Naas (Stanford: Stanford Uni Press, 2005); Jacques Derrida, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’,” terj. M. Quaintance, dalam J. Derrida, Acts of Religion, peny. G. Anidjar (NY, London: Routledge, 2002).
[8] Kata ‘komodifikasi’ dipakai di sini dengan kesadaran penuh. Kata dasar ‘komodifikasi’ adalah ‘komoditas’. Analogi ini berlaku pula bagi gagasan-gagasan universal yang silih-berganti digadang-gadang oleh negara-berdaulat: perdamaian universal, persaudaran krisetn, demokrasi, sosialisme, komunisme, fasisme, kebangsaan, islamisme, dst. Sama seperti komoditas, gagasan-gagasan ini dipertukarkan kepada para masyarakat (nb: bayangkan scene kontrak sosial) untuk akumulasi legitimasi dan penyerahan kedaulatan mereka untuk diatur (dan bukan sebaliknya: berontak).
[9] Sebenarnya bisa dilihat sedari The History of Sexuality vol I, namun akan tampak lebih culas pada seri-seri kuliahnya yang baru-baru ini diterbitkan satu per satu. Tiga di antaranya yang paling relevan: Society Must Be Defended (2003), Security, Territory, Population (2007), The Birth of Biopolitics (2008).
[10] Secara psikoanalitis, permainan ini sangat laris bisa jadi karena ia mampu menawarkan fantasi pervert dimana pemainnya bisa memainkan peran seperti tuhan: serba-mengatur kehidupan.
[11] Colin Gordon, “Governmental Rationality: An Introduction,” dalam G. Burchell, C. Gordon, & P. Miller (peny.), The Foucault Effect (Chicago: The University of Chicago Press, 1991)
[12] Menyitir Malcolm Bull saat mengomentari buku State of Exception Giorgio Agamben. [dapat diakses di http://www.generation-online.org/p/fpagamben2.htm].
[13] Dialog ini terjadi pada 1680 antara Jean-Baptiste Colbert, Menteri Keuangan Perancis pada masa tersebut dengan Joel Le Gendre, perwakilan para pebisnis Perancis saat itu. Dikutip dari Foucault, The Birth of Biopolitics, h. 20.
[14] Untuk pembahasan mengenai merebaknya demokrasi modern ini, ada baiknya memperhatikan sebagaimana yang dipaparkan oleh Claude Lefort, Democracy and Political Theory (Oxford: Polity Press, 1988), dan Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000).
[15] Foucault, The Birth of Biopolitics
[16] David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (NY: Oxford Uni Press, 2005)
[17] Dalam The Wealth of Nation, Adam Smith mendetilkan penjelasan ini dengan mekanisme tangan tak terlihat (invisible hand).
[18] Orang-orang yang dibicarakan disini tentunya adalah orang-orang yang, terutama, memiliki modal.
[19] Immanuel Kant, “PerpetualPeace: A Philosophical Sketch,” terj., H.B. Nisbet, dalam H.Reiss, peny., Kant’s Political Writings (Cambridge: Cambridge University Press,1970), hal. 108.
[20] Ibid., hal. 114.
[21] Foucault, The Birth of Biopolitics, hal.63, penebalan dari penulis.
[22] Persis seperti teori-teori klasik (Thomas Hobbes, John Locke) tentang fungsi negara.
[23] Foucault, Michel, The Birth of Biopolitics, hal. 84.
[24] Pemaparan ini juga pada gilirannya mempertanyakan penjelasan rasis tentang kemunculan Nazisme Hitler yang selalu menekankan faktor-faktor identitas kultural. Jauh dari itu, Fasisme merupakan capaian ekstrim dari liberalisme. Hal serupa hari-hari ini dapat disaksikan pada tuduhan kepada pemerintah AS yang liberal sebagai sosialisme terselubung akibat keputusannya memberi bailout yang sangat besar saat krisis finansial 2008-9 kemarin.
[25] Uraian ekstensif dapat dilihat dari David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, dan Giovanni Arrighi, Adam Smith in Beijing (London: Verso, 2007).
[26] Marx pernah menyitir ini bahwa suatu saat, kapitalisme akan tegak dengan sendirinya saat mental umum (general intellect) kapitalis sudah “diidap” oleh seluruh elemen masyarakat.
[27] Bukankah fenomena ini juga berjalan seiringan dengan fenomena generalisasi pabrik, kerja dan kapital ke seluruh domain kehidupan sosial dalam alam pikir pasca-fordisme?