Anti-Klimaks BBM dan Soundtrack Politik Hari Ini
Oleh: Hizkia Yosie Polimpung
“Capitalism is a murmur”
— Alain Badiou
Setelah melalui rangkaian perdebatan dan panasnya ketegangan dari pemrotes, akhirnya rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) diurungkan oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), atau setidaknya, ditunda (sebagaimana beberapa akan menambahkan). Sebagaimana diketahui, drama berakhir dengan disahkannya keputusan paripurna tentang penambahan pasal—yang kerap disebut “ayat setan”—yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk nantinya, apabila dirasa dituasi mendesak, menaikkan/menurunkan harga BBM. Saya kira tepat di anti-klimaks drama BBM ini perlu kita sejenak merisa drama politik ini.
Dua hal yang akan menjadi subyek risalah kali ini: apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan apa yang sebenarnya kita lakukan. Risalah pertama membawa kita untuk memahami kompleksitas background yang menjadi prakondisi yang memungkinkan drama tersebut digulirkan. Risalah kedua mencoba merefleksikan apa yang kita kira telah lakukan terhadap dan/atau di dalam drama tersebut (kritik, cemooh, berdebat, protes, dst.). Risalah ini penting dilakukan, lebih dari sekedar tindakan intelektualisme belaka, ia adalah risalah yang merefleksikan praktik di lapangan, memetik pelajaran darinya, untuk kemudian merumuskan kembali pemikiran-pemikiran kritis untuk menggumuli permasalahan tersebut.
Untuk risalah pertama, saya akan coba mendiskusikan apa yang secara obyektif sedang terjadi. Obyektif di sini sebaiknya dipahami dalam artian sesuatu yang berjalan relatif secara otonom tanpa perlu campur tangan manusia. Jika Latour mengatakan bahwa obyek pemikirannya sendiri, maka sebenarnya ia sedang ingin memperingatkan bahwa obyek memiliki logikanya sendiri. Membawa implikasi ini lebih jauh, maka bukankah fenomena adalah sebuah obyek bagi manusia yang uniknya juga memasukkan manusia ke dalamnya? Jika ya, maka sah sekiranya jika sutau fenomena juga memiliki logikanya sendiri, logika smooth functioning-nya yang relatif otonom dari manusia. Memahami fenomena drama BBM, dengan demikian memahami bahwa drama tersebut memiliki logikanya sendiri, yang bukan hanya secara relatif otonom dari manusia, tapi juga melibatkan manusia di dalamnya.[1]
Secara umum, ada dua hal yang menarik untuk direfleksikan dalam drama BBM ini: perdebatan di kalangan pemerintah (legislatif dan eksekutif) dan minoritas masyarakat tertentu (karena mayoritas, saya yakin, dengan pasrahnya tidak terlalu ambil pusing dengan isu ini), dan aksi protes terhadapnya. Perdebatan yang ada setidaknya berpusar pada tiga sumbu: politik ekonomi anggaran, politik energi, dan politik representasi.[2] Secara politik ekonomi anggaran, kalkulasi kenaikan BBM sebaiknya disosialisasikan dengan baik sehingga rakyat tahu kemana larinya subsidi yang dicabut. Ujung dari problematisasi ini akhirnya adalah komunikasi politik. Secara politik energi, rencana pencabutan subsidi BBM sebaiknya dilihat sebagai gunung es dari problem manajemen pemerintah akan sumber daya energinya. Ujung dari problematisasi ini jika bukan perkuat kerangka hukum untuk mengawal industri energi, lainnya pertegas visi dan paradigma pengelolaan energi beserta keberanian mengawalnya. Terakhir secara politik representasi, kebijakan ini dinilai tidak populis, sehingga diragukan keberpihakan pemerintah, kepada “faktor-faktor eksternal,” kepada kelas-kelas tertentu, atau kepada rakyat yang direpresentasikannya. Ujung problematisasi ini biasanya berujung pada seruan “turunkan SBY brengsek!”, belum lagi hujatan-hujatan emosional (kadang bernuansa relijius) lainnya.
Singkatnya dapat diperas empat cara melihat drama BBM ini: problem komunikasi, problem legal-yuridis, problem etika kepemimpinan, dan problem moralitas individu. Bisa jadi masing-masing problematisasi memiliki poin kebenaran. Namun yang perlu dipertanyakan: apakah benar spektrum ini benar-benar spektrum yang berbeda? Saya kira tidak. Sama sekali tidak. Mencoba mengamati lebih seksama, ada beberapa hal yang menjadi konsensus dalam seting disensus ini. Bahkan, saya berani mengklaim bahwa inilah setingan latar idiologis dari drama BBM.
Konsensus yang dimaksud adalah bahwa keempat problematisasi di atas secara tidak disadari telah bersepakat untuk sama sekali tidak menyentuh, apalagi mempermasalahkan, kondisi-kondisi sistemik yang memungkinkan artikulasi masing-masing. Beberapa pertanyaan yang nampaknya disepakati untuk tidak diperdebatkan adalah: “mengapa kita harus terus berproduksi, sedemikian rupa sehingga energi harus diamankan pasokannya?”, “mengapa kita harus mempertahankan ekonomi dalam negeri kompetitif dibandingkan negara lain?”, dan “mengapa kita begitu bergantung pada mekanisme eksternal (indeks harga minyak dan/atau situasi geopolitik di Hormuz)?”. Tentu masih banyak pertanyan-pertanyaan bodoh lainnya yang mungkin ditanyakan. Namun sekiranya jelas, kondisi kesaling-terhubungan ini tidak pernah dibahas, seraya diterima sebagai sesuatu yang sebagaimana adanya.
Kondisi kesaling-terhubungan antara dinamika politik ekonomi domestik dan internasional ini tentunya hanya dapat dimungkinkan apabila kita semua telah mensepakati globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi menjadikan ekonomi antar negara menjadi saling terhubung satu sama lain. Sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi negara yang bisa 100% mengklaim kedaulatan ekonominya, bahkan sang adidaya. Tapi apakah ini yang selalu disebut ekonomi? Bukankah ekonomi demikian adalah salah satu ekonomi? Ekonomi tersebut adalah kapitalisme, yaitu suatu sistem produksi yang berbasiskan akumulasi profit dari artikulasi komoditas di pasar. Kapitalisme tidak pernah bisa ada tanpa relasi sosial-politik yang mengawal dan melindunginya. Oleh karena itu, tidak relevan membahas kapitalisme tanpa mengikut-sertakan neoliberalisme, suatu sistem politik ekonomi negara yang berbasiskan pada pemeliharaan berfungsi mulusnya pasar. Jika kapitalisme berjalan dengan logika akumulasi kapital—semuanya demi kepentingan akumulasi profit, maka negara berjalan dengan logika penguatan kedaulatan (raison d’etat)—semua dilakukan demi memperkuat negara.
Raja – Ilahi – Realm >> Mustahil sejak revolusi demokrasi Negara – Rakyat >> Kemustahilan demokrasi langsung Negara – Pasar – Rakyat >> Pemerintahan Liberal Pasar – Negara – Akum. profit >> Kapitalisme |
Skema 1. Logika internal negara dan kapitalisme
Kedua logika ini, sialnya, relatif otonom dari manusia (kita semua); mereka berjalan dengan logikanya sendiri, yang ironisnya, sudah menginklusi partisipasi manusia didalamnya: bagi kapitalisme, manusia tidak lebih dari sekedar tubuh-tubuh buruh dan/atau konsumen; bagi negara, manusia tidak lebih dari tubuh-tubuh untuk diatur atas nama kewarga-negaraan, nasionalisme, kebangsaan, ke-Indonesia-an, dll. Tidak hanya terhadap manusia, kedua logika ini juga memiliki hubungan satu sama lain. Bagi kapitalisme, negara adalah entitas sosial-politik untuk memfasilitasi dan melindunginya. Bagi negara, kapitalisme adalah alat instrumen negara untuk mensejahterakan rakyatnya, namun bukan demi rakyat itu sendiri, melainkan agar supaya rakyat-rakyat yang disejahterakannya itu memberikan legitimasi bagi kedaulatannya. Ujung dari upaya negara, tidak lain, penguatan justifikasi keberadaannya (kedaulatan), tidak lebih. Rakyat, akhirnya tidak lebih dari sekedar kategori imajiner statistikal untuk sesekali dikutip untuk menjustifikasi diri, baik oleh kapitalisme (dalam hal ‘kesejahteraan bersama’) maupun oleh negara (dalam hal ‘kepentingan nasional’).
Tepat dalam kerangka inilah harus diletakkan perdebatan-perdebatan di seputar drama BBM ini. Apabila hal ini telah dilakukan, maka suatu ugly truth akan nampak, yaitu bahwa seluruh problematisasi tadi sama sekali menyentuh, apalagi mempermasalahkan kedua logika ini. Dalam protes oleh massa pergerakan pun demikian, seolah-olah negara sudah diterima begitu saja keberadaannya, sehingga ia adalah satu-satunya jalan untuk melindungi mereka. Akhirnya apabila negara salah, maka yang salah pasti adalah orangnya. (Persis keyakinan teologis: saat terjadi masalah, tidak pernah tuhan disalahkan; selalu somehow kita manusia yang harus introspeksi diri).[3] Kedua logika ini seakan-akan menjadi musik soundtrack yang mengiringi perdebatan-perdebatan dan protes. Di kalangan pemerintah, mereka tidak sedang berbicara tentang rakyat yang sesungguhnya. Rakyat, akhinya hanya menjadi suatu vanishing mediator yang diperlukan kedua logika—kapitalisme dan negara neoliberal—untuk mencapai tujuannya masing-masing yang tidak lain adalah perpetuasi keberadaannya sendiri. Di kalangan pemrotes, kesdaran ahistoris membelenggu horizon imajinasi mereka. yang paling radikal sekalipun, tentang perubahan sosial politik.
Posisi saya adalah sebagai berikut: saya tidak merasa sebagai pemikir radikal, apalagi filsuf radikal. Yang saya ingin usulkan adalah sesuatu yang sangat sederhana, bahkan jauh dari “radikal”: mengapa kita lebih mudah membayangkan akhir dunia yang tertabrak meteor, atau terbakar oleh jilatan api matahari, atau eskatologi penyucian dunia oleh murka Tuhan, atau bahkan malah invasi alien, ketimbang sedikit problematisasi pada normalnya sistem kapitalisme hari ini, pada normalnya sistem negara-berdaulat hari ini. [HYP]
[1] Konsep ‘otonomi relatif’ ini sekali lagi ingin menegaskan bahwa tidak ada obyek, maupun subyek, yang bisa mengada secara otonom. Penyangkalan ini sekiranya bisa menghindarkan kita dari tuduhan empirisisme naif.
[2] Dua yang pertama dapat dilihat percikannya di kolom Opini Kompas, Selasa, 27 Maret 2012. Satu lainnya adalah yang diusung kebanyakan pemrotes.
[3] Kritik ini tidak lantas mengurangi solidaritas dan keberpihakan saya pada gerakan protes ini. Saya berpihak kepada para pemrotes ini sebagai sebuah pergerakan semata, sekalipun saya sama sekali tidak bersepakat dengan substansi yang mereka usung.